Aku malu membaca tulisan ini, tapi aku bangga karena dapat menuliskannya kembali untuk Anda.
Tse Tse
Bocah itu Merawat Papanya yang Lumpuh
Bocah itu Merawat Papanya yang Lumpuh
Tse Tse, begitulah biasa dia dipanggil. Tinggal di Desa Nantong, China bersama dengan kedua orang tuanya. Pada usia 6 tahun, usia yang masih tergolong anak-anak, dia sudah harus memikul tanggung jawab yang sangat berat. Berbeda sekali dengan anak-anak lain seusianya yang masih dapat bermain dengan bebas, merengek-rengek jika permintaannya tidak terkabul, dimanja-manja oleh orang tuanya. Inilah Tse Tse, seorang bocah yang mengalami nasib yang berbeda dengan anak-anak seusianya, dan patut diacungi jempol!
Lima tahun yang lalu Xiong Chun, ayah Tse Tse, tiba-tiba menderita penyakit yang menyebabkan ototnya menyusut hingga akhirnya dia menjadi lumpuh. Berbagai macam cara telah dilakukan hingga semua tabungan habis, namun penyakitnya masih belum sembuh juga. Dari leher ke bawah hingga ujung kaki tidak bisa digerakkan sehingga setiap hari kegiatan Xiong Chun hanya dihabiskan dengan berbaring dan duduk di atas kursi roda saja. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, istri Xiong Chun dengan giat bekerja dari pagi hingga malam di sebuah pabrik walau penghasilannya sangat pas-pasan.
Tidak seperti anak kecil lainnya yang masih dimanja-manja orang tuanya, Tse Tse justru harus memanjakan ayahnya yang lumpuh. Meski usianya yang masih bocah, dia sudah mengerti apa yang disebut sebagai tanggung jawab. Tidak pernah ada rengekkan yang keluar dari mulutnya. Setiap pagi begitu alarmnya berbunyi, Tse Tse akan segera bangun, cuci muka, dan sikat gigi. Setelah dia selesai, dia akan membantu ayahnya sikat gigi, cuci muka dan memijat tangan dan kaki ayahnya.
Pulang sekolah sore, Tse Tse langsung sibuk menyiapkan seember penuh air. Lalu ia memeras selembar handuk yang besar dengan tangannya yang mungil untuk menyeka wajah ayahnya. Butuh waktu sekitar 3 sampai 4 menit bagi Tse Tse untuk memeras handuk yang ukurannya jauh lebih besar daripada tangannya yang kecil itu, namun ia melakukannya dengan penuh perhatian. Begitu pula ketika ia menyeka wajah ayahnya, dia melakukannya seakan khawatir ada bagian wajah ayahnya yang kurang bersih. Setelah bagian wajah selesai diseka, ia melanjutkan ke bagian punggung, tangan dan juga kaki ayahnya. Tak lupa pula Tse Tse memijat tangan dan kaki ayahnya seusai itu.
Jika anak seusia Tse Tse digandeng oleh orang tuanya, Tse Tse justru dengan tubuhnya yang kecil akan menggandeng ayahnya, mendorong kursi rodanya ke mana-mana. Dia melakukan hal itu dengan segenap kesungguhan hatinya. Ketika hendak menyeberangi jalan, ia akan berhenti sejenak untuk menoleh ke kiri dan ke kanan, dan baru menyeberang setelah jalanan aman. Dan tidak jarang pula Tse Tse harus mengeluarkan tenaga ekstra ketika melewati jalanan yang tidak rata hingga wajahnya yang mungil itu terlihat kemerahan. Tidak pernah ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Ia tetap tersenyum puas karena dapat membantu ayahnya.
Setiap hari mereka sekeluarga makan makanan yang sederhana saja. Hanya satu kali dalam seminggu mereka sengaja menyediakan lauk pauk yang lebih baik demi anak mereka, Tse Tse. Meski begitu, Tse Tse tidak pernah mementingkan diri sendiri, dia menyuapi ayahnya terlebih dahulu, baru kemudian dia akan memakan sisa lauk pauk yang ada. Dia lebih mementingkan kedua orangtuanya daripada dirinya sendiri. Untuk menambah penghasilan keluarganya, tidak jarang pula Tse Tse ikut dengan ibunya menjadi pemulung, mengorek-ngorek tempat sampah dan memungut botol-botol air bekas atau barang bekas lainnya untuk kemudian dijual kembali.
Tse Tse tidak pernah menuntut kepada orang tuanya karena dia sangat mengerti bahwa keluarganya memang hidup dalam kekurangan. Sebuah mobil-mobilan plastik yang dipungut dari tempat sampah, sudah menjadi barang yang amat berharga bagi dirinya. Tse Tse juga tidak pernah menunjukkan kesedihan dan ratapan terhadap nasib hidup keluarganya ini. Dia tetap ceria sebagai seorang bocah mungil, dan selalu riang menghadapi semua cobaan yang dibebankan kepadanya tanpa sedikitpun mengeluh. “Dia anak yang sangat pengertian, kami ikut merasa bangga kepadanya,” demikian komentar para tetangganya yang sangat menyayangi Tse Tse.
Mereka sekeluarga tinggal di rumah yang cuma terdiri dari sebuah ruangan yang hanya berukuran 8m2. Sebuah TV berukuran 21” yang tergantung di dinding rumahnya yang beratapkan seng adalah satu-satunya barang yang sangat istimewa bagi mereka. Tse Tse tidur di sebuah ranjang tingkat yang diatasnya dipenuhi dengan barang pecah belah sehingga hanya tersisa sedikit tempat bagi Tse Tse untuk membaringkan tubuhnya. Ada sebuah meja lipat yang tergantung di dinding rumahnya. Meja itulah yang Tse Tse gunakan sebagai meja belajarnya, sekaligus sebagai meja makan keluarganya.
Belajar adalah hal yang sangat disukai oleh Tse Tse. Pernah sekali orang tua Tse Tse bermaksud menghentikan Tse Tse dari sekolah karena kehidupan mereka yang sangat sulit, namun setelah Tse Tse mengetahui hal tersebut, Tse Tse langsung menangis. Dia tahu kalau mereka hidup dalam kekurangan, tapi dia tetap berkeinginan besar untuk dapat bersekolah. Tidak kuat melihat tangisan Tse Tse karena hal itu, orang tuanya langsung memeluknya dan berkata akan tetap mengusahakan agar dia tetap dapat bersekolah. “Saya percaya pasti akan sembuh, Tse Tse adalah harapan saya,” demikian kata sang Ayah.
Walau hidup dalam kemiskinan, semangat Tse Tse untuk dapat belajar tidak pernah padam. Dia tidak pernah melewatkan satu haripun untuk tetap belajar meski dengan peralatan sekolah yang seadanya. Begitu pulang sekolah, Tse Tse akan memindahkan meja kecilnya keluar rumah, dan segera menyelesaikan PR-nya ketika hari masih terang. Apa alasannya melakukan hal demikian? Mengapa dia tidak mengerjakannya pada malam hari saja? Untuk menghemat biaya listrik.
Tse Tse, seorang bocah 6 tahun, telah menunjukkan sikap yang benar-benar sangat Luar Biasa! Meski hidup dalam kesulitan, Tse Tse tetap menunjukkan baktinya kepada orang tua, semangat dalam belajar dan sikap pengertian yang Luar Biasa besar. Sikapnya yang tidak pernah mengeluh dan tetap ceria menghadapi kondisi hidupnya yang sangat memprihatinkan, telah menjadi pembangkit semangat bagi kedua orang tuanya dan siapa saja yang melihatnya. Dengan keceriaan dan ketegarannya, ia seolah sedang berkata kepada Ayahnya agar tetap bersemangat dalam sakitnya dan hidup dalam harapan dan keyakinan untuk bisa sembuh.
Tse Tse, memang hanya seorang bocah kecil. Akan tetapi, sikap baktinya dan semangatnya telah jauh melebihi usianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar