Whitney Houston - One Moment in Time .mp3
Found at bee mp3 search engine

Kamis, 17 Mei 2012

Uang Kertas Indonesia Yang Bernilai Tinggi (2)

Banyak orang lupa, bahwa Yogyakarta selama empat tahun pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Tepatnya pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949 ibukota Republik Indonesia ada di Yogyakarta.

Berpindahnya ibukota RI saat itu bukan tanpa alasan, situasi Jakarta kala itu dalam kondisi tidak aman dan roda pemerintahan RI macet total akibat adanya unsur-unsur yang saling berlawanan. Di satu pihak masih adanya pasukan Jepang yang memegang satus quo, di pihak lain adanya sekutu yang diboncengi NICA. Singkatnya, situasi Jakarta makin genting dan keselamatan para pemimpin bangsa pun terancam. Atas inisiatif HB IX, ibukota RI berpindah ke Yogyakarta. Hijrah ibukota RI itu merupakan atas nasehat dan prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dari Yogyalah persoalan politik bangsa dikoordinasikan. Semua itu bisa berhasil dengan baik berkat kepemimpinan HB IX.

Dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI karena pandangan politik ke depan dan keberanian Sultan HB IX mengambil resiko. Sehingga dapat dikatakan HB IX dan masyarakatnya merupakan penyambung kelangsungn RI dalam menghadapi agresi militer Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status. Selain sebagai Raja, kepala derah, menteri pertahanan, Sultan adalah key person dan juru runding dengan Belanda, juga sebagai figur kunci birokrasi sipil di Indonesia. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang aslinya bernama G.R.M Dorojatun, sejak diangkat menjadi Sultan 18 Maret 1940, menggantikan ayahnya Sri Sultan HB VIII sudah dekat dengan kalangan rakyat dan tentu saja beliau memahami aspirasi rakyat, termasuk penderitaan dan harapannya semasa penjajahan Belanda dan Jepang.

Karena perpindahan ibukota inilah maka semua uang ORI yang diterbitkan pada tahun 1946 s/d 1949 yaitu seri ORI II, III, IV dan ORI Baru tercantum kata2 Djokjakarta. Bukan lagi Djakarta seperti pada seri ORI I.


Seri ORI I (Djakarta, 17 Oktober 1945)


Seri ORI II (Djokjakarta, 1 Djanuari 1947)

Seri ORI III (Djogjakarta, 26 Djuli 1947)

Seri ORI IV (Jogjakarta, 23 Agustus 1948)
Seri ORI Baru (Djogjakarta, 17 Agustus 1949)

Uang Kertas Indonesia Yang Bernilai Tinggi (1)

Sejak kita merdeka di tahun 1945, banyak sekali jenis uang kertas yang telah diterbitkan. Beberapa diantaranya sangat sukar didapatkan sehingga mempunyai tingkat kelangkaan yang tinggi. Dan sesuai dengan hukum ekonomi maka uang2 tersebut pasti mempunyai nilai yang tinggi pula.
Di awal2 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia menerbitkan uang seri ORI (Oeang Republik Indonesia) yang dibagi menjadi 5 bagian :

1. ORI I yang bertanggal "Djakarta 17 Oktober 1945"
Terdiri dari pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 1/2 rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah dan 100 rupiah. Walaupun cuma terdiri dari 8 jenis tetapi ORI I mempunyai variasi nomor seri yang sangat banyak, lebih dari 20 jenis variasi yang telah ditemukan.
ORI jenis ini ditandatangani oleh Mr. AA Maramis dan sangat mudah didapatkan sehingga tidak mempunyai nilai tinggi.

2. ORI II bertanggal "Djokjakarta 1 Djanuari 1947"
Terdiri dari pecahan 5, 10, 25, 100 rupiah. Selain pecahan 25 rupiah, gambar dan bentuk pecahan lainnya mirip dengan ORI I tetapi ditandatangani oleh Mr. Sjafrudin Prawiranegara. Seperti juga ORI I, seri ORI II sangat mudah ditemukan dan tidak mempunyai nilai tinggi.

3. ORI III yang bertanggal "Djokjakarta 26 Djuli 1947"
Terdiri dari pecahan 1/2, 2 1/2, 25, 50, 100 SDA, 100 tembakau, dan 250 rupiah. Semuanya ditandatangani oleh Mr. AA Maramis.
Salah satu pecahan dari seri ORI III yang mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi, adalah pecahan 100 tembakau, disebut demikian karena gambar depannya adalah perkebunan tembakau. Karena kelangkaannya uang ini mempunyai nilai jual cukup tinggi. Harga di katalog KUKI 2005 adalah: Rp. 800 ribu untuk kondisi VG, Rp. 2.500.000 untuk kondisi VF dan Rp. 5.000.000 untuk kondisi mulus. Sedangkan untuk pecahan2 lainnya relatif tidak terlalu sulit ditemukan.

4. ORI IV bertanggal "Jogjakarta 23 Agustus 1948" dan ditandatangani oleh Drs. Moh Hatta
Terdiri dari pecahan yang bernilai ganjil, yaitu 40, 75, 100, 400 dan 600 rupiah. ORI IV mempunyai tingkat kesulitan tertinggi karena satu diantaranya yaitu pecahan 600 rupiah merupakan kunci dari seri ORI. Pecahan 600 tidak diterbitkan dan dicetak hanya pada satu sisi (sisi belakang kosong), terdiri dari dua jenis yaitu yang mempunyai bingkai bertulisan ENR di sisi kirinya dan satu lagi yang tidak mempunyai bingkai. Harga berkisar dari 8 juta s/d 35 juta.
Pecahan yang mempunyai nilai kesulitan tinggi juga terdapat pada seri ORI IV lainnya yaitu pecahan 75 rupiah yang berharga 1 s/d 4,5 juta dan pecahan 100 rupiah.
Untuk pecahan 100 nya, karena gambarnya mirip dengan ORI 100 tembakau Maramis maka sering disebut sebagai ORI 100 tembakau Hatta. harganya sekitar setengah dari ORI 100 tembakau Maramis.

5. ORI Baru (New ORI), bertanggal "Djokjakarta 17 Agustus 1949" dan ditandatangani oleh Mr. Loekman Hakim.
Terdiri dari pecahan 10 sen baru (biru), 10 sen baru (merah), 1/2 rupiah baru (hijau), 1/2 rupiah baru (merah), 1 rupiah baru, 10 rupiah baru (hitam kuning), 10 rupiah baru (coklat merah) dan 100 rupiah baru (ada jenis uncutnya).
Tingkat kesulitan ORI baru sangat tinggi dan mempunyai harga jual yang tinggi. Termahal adalah 10 rupiah baru (hitam kuning) bernilai sekitar 1 s/d 4 juta rupiah, disusul 10 rupiah baru (coklat orange) Rp. 1 s/d 2,5 juta. Sedangkan pecahan 10 sen, 1/2 rupiah dan 1 rupiah masing2 benilai sekitar 200.000 s/d 1 juta rupiah.
Uang2 seri ORI disamping berpenampilan tidak menarik juga tidak mempunyai pengaman yang baik, sehinga sangat banyak dipalsukan. Para kolektor pemula harus extra hati-hati bila ingin mengoleksi uang2 ORI dan harus banyak belajar sehingga dapat mengetahui mana yang palsu dan mana yang asli. Hampir semua uang ORI ada palsunya termasuk yang bernilai rendah sekalipun, apalagi yang bernilai tinggi. Bahkan untuk pecahan tertentu yaitu 400 rupiah hampir semuanya yang beredar dipasaran adalah palsu.

Secara singkat tingkat kesulitan tertinggi dari uang2 seri ORI adalah sebagai berikut :

1. ORI 600 rupiah (tersulit dan termahal)
2. ORI 100 rupiah tembakau Maramis

3. ORI 75 rupiah


4. ORI baru 10 rupiah hitam, kuning

5. ORI baru 10 rupiah coklat, merah

6. ORI baru pecahan2 lainnya

7. ORI 100 rupiah tembakau Hatta

Mata Uang dari Zaman Kerajaan Nusantara Hingga Zaman Pemerintahan Indonesia

Mata Uang dari Zaman Kerajaan Nusantara Hingga Zaman Pemerintahan Republik Indonesia

I. Mata uang zaman kerajaan di Nusantara
Uang Syailendra (850 M)

Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :
* Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
* Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
* Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram). Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapatsyailendra.JPG incuse dengan pola “Bunga Cendana”
Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)

Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.
Uang “Ma”, (Majapahit, Abad ke-12)

Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari m?sa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.
Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segiempat. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.

Pada zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
Uang Dirham, Kerajaan Samudra Pasai (1297 M)
Mata uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)


Katun
Buton, Sulawesi Tenggara
Abad XIX Masehi
P 140 mm, L 170 mm
No. inv. 13002
Jenis uang ini terbuat dari sehelai tenunan berbentuk persegi panjang. Tenunan ini dibuat oleh putri-putri istana dengan jumlah dan corak yang ditentukan di bawah pengawasan Menteri Besar. Setiap tahun coraknya dibuat berbeda untuk menghindari pemalsuan. Pemalsu uang “Kampua” dapat dituntut hukuman mati.
Uang yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha sekitar abad XIV. Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan engambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang memberikan suatu upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton,bahkan sampai dengan tahun 1940.
Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)

Mata-uang dari Kesultanan banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.
Uang Jinggara, Kerajaan Gowa (Abad ke-16)

Di daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan berdiri kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah dalam tahun 1653-1669. Di samping itu beredar juga uang dan bahan campuran timah dan tembaga, disebut kupa.
Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)
Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang amat tipis dan mudah pecah ini berlubang segi empat atau bundar di tengahnya, disebut picis, dibuat sekitar abad ke-17. Sekeliling lubang ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin berbunyi CHERIBON.
Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)

Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga real batu karena bentuknya yang tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak beredar di Mexico yang kemudian beredar juga di Filipina (jajahan Spanyol). Di negeri asalnya uang mi bernilai 8 Reales. Selain uang real Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.
Uang PITIH TEBOH, Palemban (1219 H/ 1804 masehi)
Uang ini berbentuk segi delapan dengan lubang bundar di bagian tengah, terbuat dari timah dengan berat 1,44 gr. Uang ini berasal dari Palembang, Sumatra Selatan.. Salah satu sisinya tertera tulisan Arab, dibaca “Haza fulus fi Balad Palembang-1219”. Dari angka tahun Hijriyah yang tertera 1219 (=1804 Masehi), uang ini beredar pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin. No. Inv. 12991
II. Masa Penjajahan
Masa Kolonial (abad ke-16 – 20)

Masa kolonial yaitu masa ketika banyak bangsa asing, terutama bangsa-bangsa Eropa, menjelajah ke berbagai penjuru dunia (Asia, Afrika, Amerika dan Australia) untuk dijadikan koloni atau tanah jajahan mereka. Bangsa-bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah Belanda, Inggris, Portugis dan Jepang. Masa ini berlangsung dari abad ke-16 sampal abad ke-20, dan dapat dirinci menjadi:
a. Masa Kolonial Belanda;
- Kompeni Belanda (VOC) tahun 1602 – 1799
- Republik Batavia tahun 1799 – 1806
- Louis Napoleon (Belanda di bawah kekuasaan Perancis) tahun 1806 – 1811
- Kerajaan Belanda tahun 1816 – 1942
- Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) tahun 1945 – 1949
b. Masa Kolonial Inggris
- Kompeni Inggris (EIC) di Jawa tahun 1811 – 1816
c. Masa Pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945
d. Masa Kolonial Portugis (di Timor Timur) abad ke-16 – 1975
Bangsa-bangsa tersebut, kecuali Jepang, pada mulanya datang ke Indonesia bermaksud untuk berdagang. Tetapi lama-lama mereka menguasai tanah dan menjajah daerah-daerah di Indonesia.
Pada awal abad ke-16, pedagang-pedagang Portugis memperkenalkan serta mengedarkan uang yang disebut mat atau pasmat dan real yang dibuat dari perak. Bangsa ini pernah menguasai separo daratan di Pulau Timor; tahun 1975 – 1999 pernah menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia sebagai propinsi Timor Timur (propinsi ke-27). Sejak tahun 2000, Timor Timur memerdekakan diri di bawah pengawasan PBB, dan merdeka penuh tahun 2004 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. Selama Timor Timur menjadi koloni Portugal, pemerintah kolonial pernah memberlakukan mata uang dengan satuan centavos dan escudos.
Kemudian pada akhir abad ke-16 armada kapal dagang Belanda mendarat di Pulau Jawa. Pada tahun 1602 mereka mendirikan persekutuan dagang di Hindia-Timur, dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Kompeni Belanda. Tujuan mereka di Indonesia adalah merebut Sunda Kelapa untuk dijadikan pusat kegiatan kompeni. Sunda Kelapa kemudian diganti namanya menjadi Batavia. Dari sini Kompeni Belanda mulai menjalankan siasatnya yaitu mengusir orang-orang Portugis dan merebut beberapa daerah pelabuhan penting bagi sektor perdagangan. Pada masa Kompeni Belanda banyak beredar mata uang dengan berbagai satuan nilai seperti schelling, dukat, dukatoon, doit, stuiver, rijksdaalder, gulden, dan sebagainya. Mata uang tersebut dicetak di propinsi-propinsi di negeri Belanda dan Indonesia, terutama di Batavia.
Ketika Kompeni Belanda mengalami kesulitan memperoleh bahan baku logam untuk membuat mata uang, dicari alternatif lain untuk mencetak uang kertas yang menyerupai kertas berharga (sertifikat). Menjelang runtuhnya VOC (1799) dibuat semacam uang darurat dari potongan-potongan batangan tembaga berbentuk persegi empat yang dicetak di Batavia, disebut uang bonk.
Setelah VOC bubar Indonesia di bawah kendali pemerintahan Republik Batavia (1799 — 1806), mengikuti situasi di negeri Belanda, karena pada waktu itu pengaruh Revolusi Perancis (1789) sampai ke negara-negara Eropa, termasuk Belanda. Revolusi Perancis mengubah sistem monarki (kerajaan/kekaisaran) menjadi republik. Mata uang keluaran masa ini dicirikan dengan tulisan “INDIÆ BATAVORUM’, dengan satuan nilai gulden dan stuiver.
Kemudian, tahun 1806 — 1811 di Indonesia beredar uang logam yang dibubuhi tulisan inisial LN, demikian juga pada kertas-kertas berharga diberi cap bertulisan LN, singkatan dari ‘Louis Napoleon’. Louis Napoleon adalah adik kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, yang amat terkenal dalam sejarah Perancis. Ia diangkat oleh kaisar menjadi raja di Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau mata uang keluaran masa ini menampilkan wajah Louis Napoleon, baik yang berlaku di Belanda maupun Indonesia. Satuan nilainya adalah gulden, rijksdaalder, doit dan stuiver.

Pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia, khususnya di Jawa (1811-1816), beredar berbagai macam mata uang yang dibuat dari emas, perak, tembaga dan timah. Salah satu yang dikenal adalah ‘Rupee Jawa’ yang pada kedua sisinya tertera tulisan huruf Jawa dan Arab.
Jauh sebelum ini, mata uang Kompeni Inggris dengan monogram UEIC (United East India Company) telah beredar di daerah-daerah di Sumatra, contohnya Bengkulu, sejak tahun 1783 dengan satuan nilai suku dan keping.
Masa pemerintahan Inggris di Jawa tidak berlangsung lama. Pada tahun 1816 pemerintah-an diserahkan kembali kepada kerajaan Belanda, dengan demikian Indonesia kembali menjadi jajahan Belanda yang pada waktu itu disebut Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indië).
Pada masa itu pemerintah Hindia-Belanda menghadapi berbagai perlawanan dari penguasa-penguasa lokal di Indonesia sehingga terjadilah perang, di antaranya adalah Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, Perang Paderi (1821- 1837) di Sumatra Barat, dan Perang Aceh (1873-1903). Perang tersebut menelan biaya yang sangat besar, yang mengakibatkan kas keuangan negeri Belanda menjadi kosong.
Pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengisi kas dengan berbagai cara, antara lain menjual beberapa lahan tanah kepada perusahaan partikelir (swasta) yang membuka usaha perkebunan. Pemilik perkebunan selain orang Belanda sendiri juga orang-orang asing seperti Cina, Arab, Jerman, Inggris, Perancis dan Jepang. Mereka membuka usaha perkebunan teh, kopi, tembakau, tebu, dan karet, tersebar di berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Untuk membayar gajih buruh yang bekerja di perkebunannya, mereka menciptakan uang yang disebut ‘token perkebunan’, semacam alat tukar yang hanya beredar dan berlaku di tempat tertentu, seperti token untuk perkebunan teh, token untuk perkebunan tembakau, dan sebagainya. Token perkebunan yang pernah beredar di Indonesia bentuknya sangat unik, ada yang berbentuk segitiga, segilima, segienam, bahkan berbentuk seperti mata. Bahannya selain logam dan kerfas, juga dari bambu.
Pada masa itu satuan mata uang yang beredar adalah gulden dan cent, dengan nilai-nilainya yang dikenal dengan istilah ringgit (2½ Gulden/Rupiah), suku (50 Sen), tali (25 Sen), ketip atau picis (10 Sen), kelip (5 Sen), dan benggol atau gobang (2½ Sen). Selain uang logam dicetak pula uang kertas keluaran De Javasche Bank; inilah bank pertama yang berdiri di Indonesia pada abad ke-19, sekarang menjadi Bank Indonesia.
Koin yang dipakai adalah:
Nilai
Dari
Sampai
1/2 sen 1856 1945
1 sen 1855 1945
2 1/2 sen 1856 1945
5 sen atau 1/20 gulden 1854 1922
1/10 gulden 1854 1945
1/4 gulden 1826 1945
1/2 gulden 1826 1834
1 gulden 1821 1840



Berikut nilai di bawah satuan rupiah:
- Sen, seperseratus rupiah (ada koin pecahan satu dan lima sen)
- Cepeng, hepeng, seperempat sen, dari feng, dipakai di kalangan Tionghoa
- Peser, setengah sen
- Pincang, satu setengah sen
- Gobang atau benggol, dua setengah sen
- Ketip/kelip/stuiver (Bld.), lima sen (ada koin pecahannya)
- Picis, sepuluh sen (ada koin pecahannya)
- Tali, seperempat rupiah (25 sen, ada koin pecahan 25 dan 50 sen)
- Terdapat pula satuan uang, yang nilainya adalah sepertiga tali.
Uang kertas yang beredar adalah ½, 1, 2½, 5, 10, 25, 50 dan 100 gulden.

Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC),Nusantara sudah memiliki mata uang sendiri. Di masaRepublik Batavia dan Kerajaan Holland, Nusantara menggunakan 1 gulden = 20 stuiver yang masing-masing senilai 4 duiten. Akibat inflasi, nominasi jatuh menjadi 1 gulden = 30 stuiver = 120 duiten. Pada tahun , diputuskan bahwa satuan duiten tak lagi digunakan dan sebagai gantinya adalah 1 gulden = 120 sen. Lalu pada tahun , nilai 1 gulden = 100 sen.

SumateradanJawamemiliki mata uang sendiri: dolar Sumatera(hingga tahun1824) dan rupiah Jawa(hingga tahun 1816). Namun, selama bertahun-tahun terjadi kekurangan uang karena tiadanya uang yang segera tersedia. Di Hindia-Belanda juga banyak uang logam Belanda yang beredar. Jumlah ini meningkat setelah pada tahun 1854 diketahui bahwa mata uang Belanda juga banyak di Hindia. Dari tahun itu pulalah dimulai pengendalian terhadap gulden Hindia yang lebih banyak.
Gulden yang menggambarkan Ratu Wilhelminadengan rambut tergerai ditarik dari peredaran karena tak pantas bagi seorang puteri digambarkan seperti itu. Semasa, gulden masih dicetak dalam bahasa Belanda. Tertulis pada uang tersebut De Japansche regering (berarti: “pemerintah Jepang”). Pada tahun 1944, rupiah Hindia-Belanda (dibagi-bagi dalam 100 sen) diperkenalkan, namun setelah perang diganti.
Pada pertengahan abad ke-20 terjadi Perang Dunia II dan Jepang muncul sebagai kekuatan baru di Asia. Bala tentara Jepang menduduki wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Pada tahun 1942 Jepang berhasil menduduki Indonesia, dalam waktu singkat pemerintah Hindia-Belanda dibuat bertekuk lutut di bawah tentara pendudukan Jepang. Pada masa itu uang kertas yang beredar pertama kali tertera tulisan dalam bahasa Belanda dengan satuan gulden, oleh karena itu disebut “Gulden Jepang”. Ketika pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda maka dibuatlah uang kertas dengan tulisan bahasa Indonesia dan Jepang (huruf Kanji) dengan satuan rupiah. OIeh karena itu uang ini disebut “Rupiah Jepang”.
Semua uang kertas keluaran pemerintah pendudukan Jepang ini tidak ada nomor seri dan tanda tangan Menteri Keuangan, Gubernur Bank atau Direktur Bank, jadi tidak seperti lajimnya uang kertas sekarang. Namun demikian uang pendudukan Jepang ini berlaku terus sampal beberapa saat setelah Jepang menyerah kalah (tahun 1945).
III. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia                                    
Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. . Mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche bank Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani, karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.
Mata uang Jepang (Dai Nippon Teikoku Seihu) Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah RI, karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru selama belum adanya penyelesaian politik.
Namun protes keras ini diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah RI dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional. Karena protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah RI mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat tukar.
Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional. Mata Uang NICA Oleh karena AFNEI tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari pada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI.
Setelah perjanjian damai yang dinegosiasikan di Den Haag tahun 1949, ‘ORI’ (embel embel ‘sen’) ditarik dari peredaran untuk digantikan dengan uang yang diakui secara internasional yaitu ‘ rupiah Indonesia ‘.
Sejak 2 November 1949, empat tahun setelah merdeka, Indonesia menetapkan Rupiah sebagai mata uang kebangsaannya yang baru. Namun, mata uang itu belum dipakai secara utuh di seluruh nusantara.
Kepulauan Riau dan Irian Barat memiliki variasi rupiah mereka sendiri, tetapi penggunaan variasi rupiah dibubarkan pada tahun 1964 di Riau dan 1974 di Irian Barat.
Oeang Republik Indonesia
Seri 1, ’1945 ‘
Uang ORI pertama kali dicetak pada tahun 1946 dan mulai diberlakukan pertama kali di Jawa pada 10 Oktober 1946 dengan pecahan 1, 5 dan 10 sen, ditambah ½, 1, 5, 10, dan 100 rupiah.

1 sen, Tahun 1945
5 Sen, Tahun 1945
1 Rupiah, Tahun 1945
100 Rupiah, Tahun 1945
Seri 2, ’1 Januari 1947 ‘
Seri kedua dari ORI diterbitkan dari ‘Yogyakarta’, karena saat itu ibu kota negara Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Uang seri ke-2 ini dicetak dengan emisi 1 Januari 1947 dengan pecahan  5, 10, 25, dan 100 rupiah.

25 Rupiah, Tahun 1947
100 Rupiah, Tahun 1947
Seri 3, ’26 Juli 1947 ‘
Untuk edisi baru berikutnya adalah dengan emisi 26 Juli 1947 yang terdiri dari pecahan ½, 2 ½, 25, 50, 100, dan 250 rupiah.

1/2 Rupiah, Tahun 1947
100 Rupiah, Tahun 1947
Seri 4, ’23 Agustus 1948 ‘
Uang kertas baru dikeluarkan oleh pemerintah nasional pada tahun 1948, dalam pecahan yang aneh seperti 40, 75 100, dan 400 rupiah, ditambah sebuah uang 600 rupiah.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda merebut Yogyakarta kembali sehingga kantor pusat bank sentral Republik Bank Negara Indonesia kembali menjadi ke De Javasche Bank dan kantor DJB juga dibuka kembali di Surakarta dan Kediri .
Direncanakan pada tahun 1949 untuk merevaluasi nilai tukar rupiah (yang saat itu banyak beredar di Jawa). Untuk itu, ” Rupiah Baru ” dicetak dan tidak diterbitkan di Jawa, tetapi di daerah di luar Jawa seperti beberapa dikeluarkan di Sumatera, Irian dan lainnya. Pecahan yang dicetak adalah 10 sen (biru atau merah), ½ (hijau atau merah), 1 (ungu atau hijau), 10 (hitam atau coklat), 25, dan 100 rupiah.
75 Rupiah, 1948
600 Rupiah, Tahun 1948
Perundingan damai dengan Belanda dinegosiasikan di Den Haag pada bulan November 1949, menghasilkan kesepakatan salah satunya bahwa De Javasche Bank menjadi bank sentral atau bank utama di Indonesia , dan cetakan pertama rupiah yang dikeluarkan pasca kemerdekaan setidaknya harus sama seperti mata uang keluaran sebelumnya. Maka diputuskan bahwa De Javasche sebagai Bank tanggal hanya akan merevisi uang dibagian warna, seperti uang kertas 5 gulden berubah dari ungu ke merah dan hijau, 10 gulden dari hijau ke ungu, dan 25 gulden dari merah ke hijau. Selain itu, 50 gulden, 100 gulden, 500 gulden, dan 1000 gulden mulai ditambahkan, dan tertulis tahun emisi 1946.
Karena adanya uang kertas 10 dan 25 sen (yang masih menjadi alat pembayaran yang sah dan masih akan terus dicetak), maka terjadi kesenjangan antara 25 sen Indonesia dan 5 gulden De Javasche Bank. Maka diisilah dengan cetakan 1/2 rupiah, 1 rupiah, dan 2 ½ rupiah, yang semua tertulis tahun emisi 1948. Kata-kata di uang kertas inimirip dengan pecahan 5 gulden keatas, tapi teks bahasa Indonesia (‘roepiah’) ditempatkan di atas tulisan berbahasa Belanda (‘gulden’).
Uang kertas itusemua diprint / dicetak oleh Johan Enschede en Zonen (the Dutch printer).

5 Gulden-Rupiah, Tahun 1946
1000 Gulden-Rupiah, 1946
2,5 Gulden-Rupiah, Tahun 1948
10 Sen, Tahun 1949
Republik Indonesia Serikat money
“Republik Indonesia Serikat” atau RIS mengeluarkan undang-undang pada tanggal 2 Juni 1950 yang memungkinkan Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas baru, yaitu pecahan 5 dan 10 rupiah. Namun hal ini tidak bertahan lama, karena RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950 (5 tahun setelah deklarasi kemerdekaan yang sebenarnya).
Uang uang tersebut dicetak oleh Thomas De La Rue dari Inggris dan memiliki tanggal emisi ’1 Januari 1950 ‘ yang tertulis pada uang kertas tersebut.
10 Rupiah, Tahun 1950
5 Rupiah, Tahun 1950
Nasionalisasi De Javasche Bank: Uang kertas pertama Republik Indonesia
Dengan nasionalisasi De Javasche Bank melalui Undang-Undang Darurat tahun 1951, telah ditetapkan bahwa pemerintah akan mampu mengeluarkan uang pecahan 1 dan 2 ½ rupiah. Dengan demikian, uang kertas ‘ Republik Indonesia ‘ tahun emisi 1951 dikeluarkan pada pecahan 1 dan 2 ½ rupiah.
Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, pertama seri (lanskap), 1951, dicetak oleh Perusahaan Percetakan Uang Kertas Keamanan (AS)

1 Rupiah, Tahun 1951
Pembentukan Bank Indonesia dari De Javasche Bank: kedua Republik Indonesia uang kertas
Dengan transformasi dari DJB menjadi Bank Indonesia, Undang-Undang Darurat tahun 1951 diperbaharui menjadi Undang-undang Mata Uang 1953, dan uang kertas 1 dan 2 ½ rupiah tahun  emisi 1951 dikeluarkan kembali dengan ditambah tanda tangan Menteri Keuangan dan tahun emisi 1953.
Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri kedua (lanskap), 1953, dicetak oleh Perusahaan Percetakan Uang Kertas Keamanan (AS)
1 Rupiah, Tahun 1953
1953-1954: Uang Kertas Pertama Bank Indonesia
Uang kertas baru dari De Javasche Bank yang telah dinasionalisasi menjadi ‘ Bank Indonesia ‘  telah siap diedarkan dengan tahun emisi 1952 dalam pecahan mulai dari 5, 10, 25, 50, 100, 500, dan 1000 rupiah, ditandatangani oleh Indra Kasoema sebagai Direktur, dan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur. Uang kertas mulai beredar dari Juli 1953 sampai November 1954.
1952; Uang Kertas Bank Indonesia (‘ seri budaya ‘)
5 Rupiah, Tahun 1952
100 Rupiah, Tahun 1952
Meski telah memiliki uang kertas baru sendiri dan uang kertas yang bertuliskan nama DJB seharusnya tidak lagi dicetak, namun pada kenyataannya uang bertuliskan DJB beredar sejak 1950. Sehingga beberapa Uang kertas DJB tua dicabut, diantaranya sebagai berikut:
  • 2 Maret 1956: Uang kertas 1000 gulden emisi ’1946 ‘ yang berasal dari tahun 1950 ditarik dari peredaran dan efektif pada tanggal 5 Maret 1959, karena pemalsuan merajalela.
  • 22 November 1957: Uang kertas DJB pecahan 1 dan 2 ½ rupiah emisi ’1948 ‘ ditarik, efektif 1 Desember 1957, karena denominasi uang kertas adalah hak penerbitan pemerintah di bawah Undang-undang Mata Uang 1914 yang berlaku dan karenanya De Javasche Bank sudah tidak lagi memiliki otoritas untuk menangani masalah uang.
Beberapa uang kertas pemerintah Hindia Belanda (semua pecahan rendah) yang masih sah dan kemudian dicabut antara lain sebagai berikut:
  • 1 Januari 1954: semua uang kertas pemerintah ‘Nederlandsch Indie’ pecahan 1 / 2, 1, dan 2 ½ gulden ditarik dari peredaran karena semua uang ituberasal dari awal Perang Dunia 2, 1940
  • 1 Januari 1957: Uang kertas ‘ Indonesia ‘ pecahan 10 sen dan 25 sen ’1947′ ditarik (uang ini  dikeluarkan oleh Republik Indonesia)
Pada tahun 1954, pemerintah Indonesia mendesain ulang uang kertas pecahan 1 dan 2 ½ rupiah, kemudian mengganti tahun emisi dan tanda tangan Menteri Keuangan yang baru di tahun 1956.
Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri ketiga (orang etnis), 1954, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran
2,5 Rupiah, tahun 1954
Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri keempat (orang etnis), 1956, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran
2,5 Rupiah, Tahun 1956
1958-1959 seri Hewan – Seri Kedua dari Uang Kertas Bank Indonesia
Pada tahun 1957, Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara menugaskan Thomas De La Rue & Co untuk membuat uang kertas seri baru. Namun, karena keterlibatan Syafruddin dengan PRRI maka ia digantikan oleh Loekman Hakim pada Januari 1958 sebagai gubernur . Spesimen yang diproduksi dalam pecahan 5, 10, 25, 50, 100, 500, 1000, dan 5000 rupiah, dan yang pertama kali diedarkan adalah pecahan 100 dan 1000 rupiah.
Masalah keuangan agak terganggu oleh devaluasi mata uang pada 24 Agustus 1959, sehingga 500 (harimau) dan 1000 (gajah) rupiah didevaluasi menjadi 50 (buaya) dan 100 rupiah (tupai) pada September 1959. Untuk 2500 dan 5000 rupiah dinyatakan tidak perlu untuk devaluasi. Untuk 2500 Rupiah pada akhirnya terbit tiga tahun kemudian karena inflasi yang terus naik, sedangkan mata uang pecahan 5000 rupiah tidak pernah diterbitkan. Pecahan 10 dan 25 rupiah hanya diedarkan selama 3 hari, meskipun mereka tetap menjadi alat pembayaran yang sah.
Di samping 8 uang kertas yang sedang didesain, Loekman juga menugaskan membuat uang kertas baru, 2500 rupiah. Terlepas dari uang kertas 100 dan 1000 rupiah, uang kertas pecahan  yang juga tinggi yaitu 500 rupiah dirilis pada tanggal 6 Januari 1959.
Seri Hewan (not dated, pertama dicetak 1957, kecuali untuk 2500 rupiah), semua dicetak Thomas De La Rue
5000 Rupiah, Tahun 1957
1959: Indonesia Pertama dirancang catatan, seri ‘kerajinan’
8 September 1959, Indonesia murni pertama kali merancang uang kertas dan diterbitkan oleh percetakan negara ‘Pertjetakan Kebajoran’ yaitu uang kertas pecahan 5 dan 100 rupiah.

5 Rupiah, Tahun 1959
1960: Uang Kertas Bunga Thomas De La Rue dan Burung
Satu lagi rangkaian uang kertas baru, kali ini dengan seri ‘bunga’ yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tahun 1960 (memperlihatkan bunga di bagian depan dan burung di sebaliknya), tertanggal emisi 1 Januari 1959, namun diterbitkan pada tahun 1960. uang uang kertas ini dicetak oleh Thomas De La Rue & Co Ltd dari Inggris.
Seri bunga dan burung, tertanggal ’1 Januari 1959 ‘, diterbitkan pada tahun 1960, dicetak oleh Thomas De La Rue
1000 Rupiah, tahun 1959
1960-1961: uang kertas Pemerintah
Sebuah desain uang kertas pemerintah Indonesia yang baru untuk pecahan 1 dan 2 ½ rupiah diterbitkan pada tahun 1960 memperlihatkan buruh tani, tertanggal emisi 1961 dengan tanda tangan Menteri Keuangan yang baru.
Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri kelima (tema pertanian), 1960, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran
2,5 Rupiah, Tahun 1960
Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri keenam (tema pertanian), 1961, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran
2,5 Rupiah, Tahun 1961
1961-1964: seri Lengkap kerajinan
Indonesia juga mengeluarkan uang kertas dengan seri kerajinan tangan menggantikan TDLR pada tahun 1961 dan 1962, dengan pecahan 5 sampai 1000 rupiah.

100 Rupiah, Tahun 1958

1000 Rupiah, Tahun 1964
Karena terjadinya inflasi, Uang kertas pecahan 2.500 rupiah dengan desain ‘hewan’ akhirnya diterbitkan pada bulan September 1962, kemudian menjadi pecahan teratas. Suatu respon lanjutan terhadap inflasi yang datang maka diterbitkannya pecahan 5000 (coklat) rupiah tertanggal emisi 1958 pada bulan Oktober 1963. Pada bulan Agustus 1964, dirasa perlu untuk menambahkan uang kertas 10.000 rupiah (merah), tertanggal emisi ’1964 ‘, melengkapi seri buruh kasar (manual workers).
1965: Pembaruan Uang Kertas seri Kerajinan
Pada tahun 1965, di tengah inflasi yang melonjak, semua uang kecuali 5 rupiah kebawah dan 500 rupiah dengan seri kerajinan tangan direvisi dan diterbitkan kembali.
Uang kertas dengan gambar Kerajinan / rumah asli Indonesia , dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran, diterbitkan tahun 1965 – seri kedua
1000 Rupiah, Tahun 1958
10000 Rupiah, Tahun 1964
1965-1968: seri pertama uang kertas (‘ Soekarno ‘)
Hiperinflasi awal tahun 1960-an mengakibatkan pembacaan ‘rupiah baru’ dianggap hanya senilai 1.000 rupiah lama.
Penarikan uang lama berarti sama dengan penerbitan uang kertas baru, dengan Keputusan Presiden 13 Desember 1965. Keputusan resmi Bank Indonesia untuk menerbitkan uang kertas fraksional untuk pertama kalinya (meski uang pecahan 1 dan 2 ½ rupiah masih dikeluarkan oleh pemerintah sendiri), dalam pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen tertanggal emisi 1964 menampilkan gambar para ‘sukarelawan’. Tetapi kenyataannya bahwa rupiah hanya didevaluasi 10, bukan 1000 kali, sehingga membuatnya tidak berharga pada saat penerbitan dan jutaan uang kertas tidak pernah diedarkan.
Semua uang kertas yang tersisa menampilkan Presiden Soekarno pada bagian depan, dan berbagai penari disebaliknya; seri iniditerbitkan oleh ‘ Republik Indonesia (ORI) ‘ dalam pecahan 1 dan 2 ½ rupiah tertanggal emisi 1964, dan Bank Indonesia tertanggal emisi 1960 dalam bentuk pecahan 5, 10, 25, 50 , dan 100 rupiah; Uang kertas mulai dari pecahan 500 sampai 10.000 rupiah dianggap tidak perlu dikeluarkan karena terjadinya devaluasi.
2,5 Sen, Tahun 1964
50 Sen, Tahun 1964
1000 Rupiah, Tahun 1960
1968-1970: Uang kertas seri kedua (‘Sudirman’)
Pada tahun 1968 masa Orde Baru Suharto telah dibentuk, dan Bank Indonesia sejak 1968 diberi hak tunggal untuk mengeluarkan / mengedarkan uang kertas (termasuk uang di bawah 5 rupiah) serta uang logam (yang sebelumnya menjadi persoalan pemerintah pusat) dengan demikian ORI sudah tidak diterbitkan lagi.
Oleh karena itu, edisi uang kertas baru dari pecahan 1 sampai 1.000 rupiah, tertanggal emisi 1968 semuanya dari Bank Indonesia. Uang kertas baru kali inimenampilkan pahlawan revolusi Jenderal Sudirman, didukung oleh berbagai macam pemandangan berbagai industri. Uang kertas ituditerbitkan pada tahun 1968 dan 1969. Pada tahun 1970, uang kertas dengan tema yang sama (tapi menggunakan watermark yang berbeda) pecahan 5.000 dan 10.000 rupiah juga diedarkan, sehingga memulihkan pecahan uang yang sama dengan yang telah beredar sebelum terjadi devaluasi tahun 1965.
Uang kertas edisi Sudirman / industri, ’1968′, Bank Indonesia: Uang kertas seri Kedua pasca-devaluasi, Dicetak oleh PN Pertjetakan Kebajoran
50 Rupiah, Tahun 1968
Seri Diponegoro (tidak diterbitkan)
Sebuah seri baru uang kertas Indonesia kali inidimulai dari pecahan 100 rupiah, didesain dengan tema Diponegoro pada tahun 1971 (tapi dicetak tanpa tanggal emisi), namun seri ini tidak pernah diterbitkan, meskipun uang kertas pecahan 1000 rupiah pada seri ini kemudian ditambahkan tanggal emisi dan diterbitkan pada tahun 1976 , namun bagian belakang pada uang pecahan 5000 rupiah (seri ini ) juga digunakan untuk uang kertas 5000 rupiah tahun 1976, tetapi dengan desain bagian depan yang baru (bukan diponegoro lagi).
Rangkaian pembatalan uang kertas iniadalah yang terakhir di Indonesia dengan tema yang konsisten, yaitu uang kertas baru biasanya mempertahankan warna yang sama dengan yang lama dari pecahan yang sama.
10000 Rupiah, Tahun 1971
1976-1978: Uang Kertas seri ketiga; rupiah baru
Karena pemalsuan uang kertas seri Sudirman yang merajalela, semua uang kertas pecahan 1.000, 5.000 dan 10.000 rupiah didesain ulang, tertanggal emisi 1975 dan diterbitkan pada tahun 1976. Uang kertas Sudirman 1000 rupiah keatas ditarik dari peredaran secara resmi tanggal 1 September 1977.
Pendesainan ulang uang kertas pecahan 100 dan 500 rupiah diikuti pada tahun 1978, sehingga melengkapi seri ketiga dari uang kertas yang akan diterbitkan sejak devaluasi mata uang tahun 1965.
10000 Rupiah, Tahun 1971
Selama periode tahun 1970-an, Bank Indonesia mengeluarkan 6 macam pecahan yang terdiri dari:
  • 100 badak – 1977
  • 500 anggrek – 1977
  • 1000 Diponegoro – 1975
  • 5000 nelayan – 1975
  • 10000 relief candi Borobudur – 1975
  • 10000 gamelan – 1979 (Lihat dibawah)
Dari ke 6 macam uang kertas iniyang paling sulit ditemukan dan tentu saja bernilai paling tinggi adalah pecahan 10.000 relief candi Borobudur karena mempunyai motif dan gambar yang sangat menarik selain bergambar relief candi Borobudur di bagian depan juga gambar barong di bagian belakang sehingga sangat digemari oleh kolektor mancanegara.
1979-1982: Uang Kertas rupiah baru Seri 4
Pada tahun 1979, uang kertas pertama kali yang perlu diganti lagi adalah 10.000 rupiah (pada saat itubernilai sekitar US $ 16). Selanjutnya uang kertas didesain ulang dan diikuti disemua pecahan kecuali 100 rupiah pada tahun 1980 dan 1982.
Uang kertas rupiah ’1979 ‘, ’1980′, ’1982′, dicetak oleh Perum Peruri
10000 Rupiah, Tahun 1979
5000 Rupiah, Tahun 1980
500 Rupiah, Tahun 1982
1985-1988: Uang Kertas rupiah baru seri 5
Uang kertas 100 rupiah yang berasal dari tahun 1977 akhirnya digantikan pada tahun 1985, penggantian semua uang pecahan diikuti pada tahun 1985, 1987 dan 1988.
100 Rupiah, Tahun 1984
500 Rupiah, Tahun 1984
5000 Rupiah, Tahun 1988
1992: Seri keenam uang kertas rupiah baru
Di tahun 1992 terlihat suatu perbaikan yang lengkap dari semua pecahan uang kertas untuk pertama kalinya sejak 1968. Selain itu, pecahan baru uang kertas 20.000 rupiah juga ditambahkan dengan nilai US $ sekitar $ 10 pada saat itu. iniadalah pecahan baru pertama sejak 10.000 rupiah diterbitkan pada bulan April 1970 (saat itusenilai sekitar US $ 26).
Sebelum tahun 1990-an di bagian bawah setiap uang kertas tercantum tulisan seperti berikut:
HERU SEOROSO DEL pada pecahan 100 rupiah 1984
SOERIPTO DEL pada pecahan 500 rupiah 1988
Kata Del berasal dari kata delineavit yang berarti “di gambar oleh”, sehingga Soeripto DEL artinya “di gambar oleh Soeripto” demikian juga dengan Heru Soeroso DEL artinya “di gambar oleh Heru Soeroso”.
Dari sinilah edisi ke depannya, sejak memasuki tahun 1990-an, maka uang kertas kita tidak lagi mencantumkan kata-kata tersebut. Sebagai gantinya uang kertas Indonesia, tahun emisi dituliskan dalam bentuk teks kecil di tepi uang kertas (pojok bawah), dan tahun yang paling menonjol pada uang kertas ituadalah tahun kewenangan (misalnya, “Direksi 1992″).
Date of Authority printed in the middle of the note
1000 Rupiah – 1992 Series printed in year 1994. “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP 1994″  represents The Indonesia Currency mint 1994
Cetakan Rupiah seri ’1992′, dicetak oleh Perum Peruri
10000 Rupiah, Tahun 1992
1993: Peringatan Soeharto – 50.000 rupiah
Pada tahun 1993 sebuah uang kertas 50.000 rupiah (bernilai sekitar US $ 22) diterbitkan untuk merayakan “25 Tahun Pembangunan” dibuat dengan bahan polimer dan berhologram, uang iniditerbitkan secara terbatas hanya lima juta lembar saja, dan dalam bungkus penyajian / cover / folder dijelaskan rencana 25-tahun pertumbuhan sejak tahun 1969, dengan harga nilai nominal ganda : 100.000 rupiah. Desain inimenampilkan Soeharto di bagian depan dan bandara Soekarno-Hatta di bagian belakang, dengan sebuah pesawat yang sedang lepas landas melambangkan pertumbuhan Indonesia. Namun, diyakini karena penjualan yang buruk, beberapa uang polimer dikurangi. Sebuah versi lain berbahan kertas namun dengan desain serupa juga dicetak pada tahun 1993 dan 1994.
Uang kertas Rupiah seri Soeharto ’1993′
1995: penambahan benang pengaman pada uang kertas 1992/1993 ke atas
Pada tahun 1995 menjadi tahun pengenalan bagi benang pengaman untuk uang kertas Indonesia, sebuah fitur baru di semua uang kertas pecahan besar (10.000 keatas) dengan ’1995 Direksi’ dan yang lebih baru. Uang kertas 20.000 rupiah (tahun emisi 1992) dan 50.000 (emisi 1993) juga diberi benang pengaman.
50000 Rupiah, Tahun 1995
Perbaruan untuk pecahan tinggi, diperkenalkannya 100.000 rupiah
Uang kertas pecahan tinggi, 10.000, 20.000 dan 50.000 rupiah diganti pada tahun 1998 dan 1999. Ditambahkan juga sebuah uang polimer baru 100.000 rupiah (pada saat ituhanya bernilai sekitar US $ 10) diimpor dari Australia. Uang 100.000 initidak lagi dicetak menyusul pengenalan desain baru pada tahun 2004-2005 dan tidak lagi menjadi alat pembayaran yang sah sejak 31 Desember 2008, meskipun uang 100.000 initetap dapat ditukarkan di kantor Bank Indonesia hingga 10 tahun lebih lanjut.
Dalam menerbitkan uang polimer, Indonesia mempunyai maksud tertentu, dan inilah penjelasannya :
Bank Indonesia akan mengeluarkan uang dalam pecahan Rp100.000 pada tanggal 1 November 1999 sebagai alat pembayaran resmi. “Uang ituakan dibuat dari substrat polimer (plastik) yang lebih tahan lama dan sulit untuk dipalsukan dari pada bahan kertas” dikutip dari gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin. Untuk menghindari penipuan, uang tersebut telah dilengkapi dengan elemen anti pemalsuan yang dapat dilihat secara kasat mata dan dapat disentuh agar masyarakat akrab dengan keaslian uang.
Gubernur Bank Indonesia menjelaskan bahwa penerbitan uang dengan emisi baru iniadalah untuk mempermudah dan mempercepat transaksi tunai. Gambar utama di depan uang adalah Dr Ir. Soekarno dan Dr H. Mohammad Hatta, sementara di sisi lainnya bergambar gedung DPR yang bertujuan untuk mempromosikan penghargaan kami kepada keduanya dan lembaga tertinggi untuk nilai demokratis mereka.
Penerbitan diumumkan dalam Berita Negara tahun 1999 nomor 206, sementara itubank-bank, kantor pos dan kantor kantor pelayanan masyarakat akan menerima poster uang sebagai pengumuman penerbitan di kantor mereka dan di tempat umum lainnya. Pengumuman inijuga tersedia di situs web Bank Indonesia.
50000 & 100.000 Rupiah, Tahun 1999
Uang pecahan 100.000 rupiah bergambar Sukarno Hatta inimerupakan uang polimer kedua yang diterbitkan oleh Indonesia. Sampai saat inisekitar 36 negara yang sudah menerbitkan uang berbahan dasar polimer, sehingga mengoleksi uang polimer sudah menjadi cabang numismatik tersendiri.
Seri saat ini
Uang pecahan rendah, 2000 dan 2001
Pecahan rendah, 1.000 dan 5.000 rupiah diperbarui pada tahun 2000 dan 2001 dengan gambar pahlawan nasional, dan terus akan dicetak hingga hari ini. Pecahan terendah sebelumnya, 100 dan 500 rupiah sudah tidak adalagi karena rupiah telah jatuh nilainya hingga 80% dibanding pecahan edisi sebelumnya pada tahun 1992.
1000 Rupiah, Tahun 2000
5000 Rupiah, Tahun 2001
Pembaruan pecahan tinggi 2004/2005
Uang kertas pecahan 10.000 – 100.000 diganti pada tahun 2004 dan 2005, dan uang 100.000 kembali ke desain kertas dan dicetak di Indonesia . sebagai catatan, polimer ternyata menyulitkan mesin bank untuk melakukan penghitungan, dan sebaiknya semua uang kertas diberi perangkat anti-pemalsuan saja (tidak dibuat dengan bahan polimer).
100000 Rupiah, Tahun 2004
50000 Rupiah, Tahun 2005
Uang kertas baru 2000 rupiah
Setelah tertunda beberapa kali, menyusul pengumuman awal bahwa uang kertas pecahan 2000 rupiah akan menggantikan uang 1000 rupiah sebagai pecahan terendah, pecahan baru, 2.000 rupiah akhirnya resmi dirilis, dan beredar bersamaan dengan pecahan lainnya pada bulan Juli 2009. Selain uang pecahan 2000 rupiah ini, Bank Indonesia mengeluarkan uang kertas baru yang ditandatangani oleh Budiono. Walaupun bergambar sama, uang kertas 2009 mempunyai beberapa ciri yang berbeda antara lain :
  1. Tanda tangan Gubernur BI yang berbeda
  2. Tahun di bagian depan tercetak 2009
  3. Tahun emisi yang tercetak di bagian bawah uang masih tetap sesuai dengan tahun pertama kali uang diterbitkan.
Rupiah seri ’2009′ (Gubernur : Miranda S. Goeltom) – Printed by Perum Peruri
2000 Rupiah, Tahun 2009
Rupiah seri ’2009′ (Gubernur : Boediono) – Printed by Perum Peruri
50000 Rupiah Tahun 2009
100000 Rupiah, Tahun 2009
Dengan demikian uang yang berlaku hingga saat ini bisa dibilang dari seri 2000. Di seri ini, pecahan uang kertas (dari tahun 2000) memiliki pola yang sama (mirip) sehingga menyerupai satu seri. Mungkin dengan demikian kita bisa menyebut seri tahun 2000-an ini dengan seri pahlawan.
Sampai saat ini berarti semua pecahan uang kertas telah diganti dengan uang baru yang lebih baik dalam segala hal termasuk desain, kualitas maupun keamanannya.