Whitney Houston - One Moment in Time .mp3
Found at bee mp3 search engine

Minggu, 30 Oktober 2011

Feng Shui Agar Cepat Dapat Jodoh

Menemukan pasangan ideal memang tidakmudah. Tak jarang, sulitnya mendapatkan jodoh membuat banyak wanita merasa frustasi dan putus asa.  Akhirnya, pilihannya adalah mendaftar di sebuah situs kencan sebagai perantara biro jodoh untuk menemukan pasangan.


Tetapi, sebenarnya ada cara berbeda untuk memburu jodoh. Boleh percaya atau tidak, Anda bisa praktekkan metode Feng Shuiuntuk mendapatkan pasangan berikut ini di kamar Anda, seperti dikutip dari laman Times of India:


  1. Jangan penuhi kamar dengan foto-foto, lukisan, patung yang hanya menampilkan satu orang. Pasang foto atau lukisan berisi lebih dari satu orang, yang berekspresi bahagia. Ini akan membuat Anda lebih mudah menerima cinta.
  2. Letakkan kursi yang nyaman di kamar Anda. Namun, sebaiknya memilih sofa, yang bisa ditempati dua orang.
  3. Jangan letakkan televisi di kamar. Hal ini akan membuat Anda lebih betah di kamar, yang bisa membuat Anda makin sulit menemukan jodoh. Tanpa televisi di kamar, Anda akan lebih bersosialisasi dengan banyak orang ketimbang hanya berdiam di kamar.
  4. Ciptakan tempat tidur yang nyaman, dengan bantal, seprei dan selimut berbahan lembut dan berwarna ceria. Hal ini akan menumbuhkan sikap positif di diri Anda.
  5. Biarkan beberapa gantungan baju kosong di lemari, dan letakkan sikat gigitambahan di kamar mandi. Ini menunjukkan bahwa Anda bersedia berbagi ruang hati Anda dengan seseorang istimewa.
  6. Atur tempat tidur Anda dengan cara menyediakan cukup ruang untuk berjalan di kedua sisinya. Metode ini juga dipercaya bisa membuat orang lain mudah mendekati Anda, karena Anda bersedia menyediakan ruang khusus untuknya.

MISTERI ANTARA NASIB DAN ARAH PINTU RUMAH

Membuat rumah ternyata bukan sekedar membangun secara fisik. Perlu dicerna lebih lanjut, bahwa posisi rumah maupun arah menghadap rumah sangat berpengaruh bagi kemajuan penghuninya. Menurut hongshui Jawa atau Pakuwon, ada aturan tertentu untuk menentukan arah pintu rumah yang baik.

Penentuan arah menghadap rumah, bagi masyarakat Jawa, merupakan hal yang sangat penting dalam membangun suatu rumah sebagai tempat tinggal. Secara garis besar, arah menghadap rumah yaitu menghadap ke utara, timur, selatan, dan arah barat. Seperti halnya bangsa Cina, orang Jawa percaya bahwa arah menghadap rumah memiliki pengaruh atau dapat membawa keberuntungan maupun kesialan dalam hidupnya. Begitupun akan berpengaruh pada keluarganya.

Pada jaman dahulu dalam masyarakat Jawa hampir tidak dijumpai rumah menghadap ke barat dan demikian pula halnya yang menghadap ke arah timur. Rumah orang biasa (masyarakat umum, bukan bangsawan, red) pada umumnya menghadap ke arah utara atau ke selatan. Sedangkan arah menghadap ke timur khusus dipergunakan untuk keraton.

Setiap arah mata angin dipercayai ditunggu oleh dewa, dan oleh karena itu ada makna simbolis tertentu untuk penentuan arah menghadap rumah yang berdasarkan pada empat mata angin.

Keempat arah mata angin yang dijaga oleh dewa tersebut adalah :

(1) Timur ditunggui oleh Maha Dewa,
(2) Barat ditunggui oleh Batara Yamadipati,
(3) Utara ditunggui oleh Batara Wisnu, dan
(4) Selatan ditunggui Batara Brahma

Dalam mitologi Jawa, Batara Yamadipati adalah dewa kematian. Sehingga bagi orang yang mempercayai, arah menghadap ke barat harus dihindari karena secara simbolik berarti sama dengan mengharap kematian.
Adapun cara menentukan arah menghadap rumah adalah dengan menjumlah neptu (hitungan) hari kelahiran dan pasaran orang yang akan membangun rumah. Ketentuannya adalah sebagai berikut :

(1) Jika jumlah neptunya 7, 8, 13, 18, arah rumah menghadap ke arah utara atau ke timur,

(2) Jika jumlah neptunya 9, 14 arah rumah harus menghadap ke selatan atau ke timur,

(3) Jika neptunya 10 arah rumah harus menghadap ke selatan atau barat,

(4) Jika jumlah neptunya 11, 15, 16 arah rumah harus menghadap ke barat, dan

(5) Jika jumlah neptunya 12, 17 arah rumah harus menghadap ke utara atau ke barat.

Neptu hari: Ahad = 5, Senin = 4, Selasa = 3, Rabu = 7. Kamis = 8, Jum’at = 6, Sabtu = 9.

Neptu pasaran: Kliwon = 8, Legi = 5, Pahing = 9, Pon = 7. Misalnya Anda lahir pada ahad pahing, maka jumlah neptu menjadi (ahad = 5) + (pahing = 9) = 14.

Berdasarkan penghitungan neptu tersebut maka Anda sebaiknya memiliki rumah menghadap arah selatan atau ke timur.

Tentu saja, pengetahuan ini merupakan peninggalan nenek moyang dan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Manusia berikhtiar namun segala ketentuan ada pada Tuhan.
 Zangshu, atau Kitab Pemakaman
oleh Guo Pu (276-324)
.





 
 



 


Bab Batin
I. Qi Pemakaman

 
  
A. Vital Qi
1. Penguburan ini bergantung sheng qi, [1] "energi vital."
2. Lima (fase) qi [2] tentu saja melalui bumi, terwujud dan melahirkan berbagai hal.

     
B. Qi of Bones
1. Manusia menerima tubuhnya dari orangtuanya.
2. Jika nenek moyang 'tulang memperoleh qi, keturunan' tubuh diberkahi.
3. Classic mengatakan: Qi bergerak dan merespon dalam bentuk; [3] berkat dari hantu meluas ke hidup.
4. Inilah sebabnya, ketika Gunung Tembaga runtuh di barat, lonceng berdentang istana di timur. [4]
5. Ketika bunga-bunga pohon di musim semi, kecambah kastanye di lorong.
6. Sesungguhnya, hidup adalah akumulasi qi; mengeras ke dalam tulang, [5] yang tetap sendiri setelah kematian.
7. Penguburan kembali qi ke tulang-tulang yang merupakan cara hidup diberkahi.


 
II. Aliran Qi

     
A. Angin, Air, dan Qi
1. Tulang bukit dan karang, yang (arteri) cabang bank dan gundukan, ini adalah jejak qi. [6]
2. Classic mengatakan: Qi naik angin dan mencerai-beraikan, tapi dipertahankan ketika menghadapi air.
3. Dahulu dikumpulkan untuk mencegah disipasi, dan dipandu untuk menjamin retensi.
4. Jadi itu disebut feng shui.
5. Menurut hukum feng shui, situs yang menarik air optimal, diikuti oleh situs yang menangkap angin.

     
B. Qi Underground
1. Classic mengatakan: Sesungguhnya dikatakan, di mana qi terwujud pada permukaan bumi, qi tanah terakumulasi vitalitas.
2. Mengapa ini begitu?
3. Mana qi berkembang, meskipun mengalir pergi, masih ada beberapa retensi surplusnya.
4. Meskipun menghilang, masih ada beberapa akumulasi dalam kedalamannya.
5. Jadi penguburan di lahan kering harus dangkal, sedangkan penguburan di dataran rendah harus mendalam.
6. Classic mengatakan: Ketika kedalaman yang tepat tercapai, fengshui datang tentang alami.
C. Bumi, Air, dan Qi
1. Qi yin dan yang bernafas keluar sebagai angin, bangkit sebagai awan, turun sebagai hujan, dan kursus bawah tanah sebagai energi vital.
2. Bumi adalah wadah qi-mana ada bumi, ada qi.
3. Qi adalah ibu dari air-mana ada qi, ada air.
4. Classic mengatakan: Qi mengalir di mana bumi perubahan bentuk, flora dan fauna yang demikian dipelihara.

 


III. Aliran Terrain

     
A. Kontur dan Fitur
1. Qi mengalir di dalam tanah, mengikuti kontur medan, dan kolam renang di mana kontur berjalan jalurnya.
2. Untuk pemakaman, mencari sumber dan naik ke terminal nya.
3. Arteri menimbulkan kontur tanah.
4. Tulang menimbulkan kontur gunung.
5. Mereka angin sinuously dari timur ke barat atau dari selatan ke utara.
6. Ribuan kaki jauh, mereka kontur, ratusan meter dekat, mereka fitur.
7. Kontur muka dan berhenti dalam fitur. Ini disebut qi total.
8. Di tanah pemakaman qi total harus terjadi pada ujung nya.

     
B. Terhormat Terrain
1. (Kontur) twists dan ternyata kembali pada dirinya sendiri, kumparan pada koil dan spiral, seperti (naga) meringkuk dan menunggu, seperti (naga) menangkap dan menahan.
2. Pertama uang muka dan kemudian menarik diri, ketika itu berhenti itu anjlok dalam.
3. Mengumpulkan karena pendekatan, mengumpulkan saat istirahat nya, dan yin dicampur dan dicampur.
4. Dimana bumi adalah tinggi dan air yang dalam, di mana vegetasi berkembang, (medan seperti itu) adalah yang terhormat seperti seribu-kereta mulia dan kaya sebagai sepuluh ribu dalam emas.
5. Classic mengatakan: Qi mengumpulkan di ujung fitur mana mengubah dan melahirkan berbagai hal, ini adalah tanah ditinggikan.


 
IV. Qi Pegunungan

     
A. Cabang Arteri
1. Nilai tanah adalah kehalusan tersebut; nilai bumi (arteri) kantor cabang.
2. Qi sesuai dengan munculnya cabang-cabang dan muncul.
3. Qi sesuai dengan penghentian cabang dan konvergen.
4. Seni survei cabang yang esoteris dan agung.
5. Meskipun halus, misteri yang yg dpt diukur.
6. Nasib baik terletak di dalam.
7. Classic mengatakan: Dimana tanah memegang qi menguntungkan, bumi sesuai dan menonjol.
8. Ketika cabang terus akumulasi qi, air sesuai dan mendampingi mereka.
9. Dimana kontur adalah cairan dan fitur yang dinamis, unwinding dari terminal ke sumber, menurut seni fengshui, jika pemakaman terjadi di sini nasib baik adalah abadi dan nihil kemalangan.

     
B. Gunung Pemakaman
1. Meskipun kontur yang terjal, akan ada (tempat pemakaman) di pegunungan.
2. Carilah mereka yang harmonis; meneliti orang-orang yang kekurangan.
3. Pilih orang yang bermanfaat, hindari orang-orang yang berbahaya.
4. Dengan cara ini pria akan merebut jasa dari para dewa dan mengubah mandat dari Surga.
5. Kesialan dan keberuntungan berhenti bukan untuk esok.
6. Classic mengatakan: Konsekuensi penguburan gunung adalah seperti berteriak di lembah: benar-benar, gema sangat cepat.

       
C. Pegunungan yang Tanpa Qi
1. Lima jenis gunung tidak cocok untuk penguburan:
2. Qi menggabung di hadapan kehidupan - jika gunung ini telanjang yang cocok untuk dimakamkan.
3. Kemajuan qi dengan cara fitur-dinyatakan gunung terputus yang cocok untuk dimakamkan.
4. Qi bergerak dengan cara bumi-jika gunung ini bouldery, yang tidak cocok untuk dimakamkan.
5. Qi terakumulasi di mana kontur menjalankan program-jika mereka gunung tersebut berlebihan, yang tidak cocok untuk dimakamkan.
6. Qi selaras dengan adanya naga - jika gunung tersebut soliter, yang tidak cocok untuk dimakamkan.
7. Classic mengatakan: Bare, terputus, pegunungan bouldery, berlebihan, dan soliter menghasilkan kemalangan baru dan melarutkan diperoleh keberuntungan.
D. Situs Gunung Ta'ala
1. Gunung-gunung tanah ditinggikan turun dari Sorga seperti suksesi dari busur, seperti mengepul gelombang, atau kuda berderap.
2. Mereka datang terburu-buru, dan mereka berhenti seolah-olah diletakkan untuk beristirahat, seperti seseorang beristirahat dengan tenang sambil memeluk sebuah harta karun, atau puasa dalam kemurnian sementara meletakkan sebuah pesta; seperti tas menggembung, atau piring penuh; seperti naga dan burung, melonjak dan berputar-putar.
3. Burung hover dan binatang berjongkok, seolah-olah memberikan penghormatan kepada seorang bangsawan dari sepuluh ribu kereta.
4. Lampu surgawi regenerasi, seperti sungai kembali ke laut, atau seperti bintang-bintang berputar di sekitar Bintang Utara.
5. Dianut dan dilindungi oleh naga dan harimau, menerima satu sama lain seperti tuan rumah dan tamu.
6. Empat Aspek [7] benar dan jelas, Lima Bahaya [8] tempat dekat.
7. Jika satu-sepersepuluh kekurangan, situs ini rendah.


 
Para Luar Bab


 
Penguburan meramal V. Situs

     
A. Unik Terrain
1. Lapisan dan lipatan rantai pegunungan, rentang bukit dan cabang-cabang arteri, itu adalah luar biasa yang harus dipilih.
2. Ketika besar mendominasi, yang kecil yang luar biasa.
3. Ketika kecil mendominasi, massif yang luar biasa.
4. Ketika fitur bingung, dan kontur ini kacau, ketika tuan rumah dan tamu dibedakan, seperti locale tidak cocok untuk dimakamkan.

     
B. Cabang dan Hills
1. Ini adalah sifat (arteri) cabang untuk menjalankan tersembunyi di bawah tanah, itu adalah sifat bukit untuk bangkit dari tanah.
2. Dimana cabang dan bukit menghentikan, ada tanah yang datar seperti telapak tangan.
3. Oleh karena itu, dengan cabang di puncak mengubur mereka, dan dengan bukit-bukit menguburkan di basis mereka.
4. Ketika meramal, cabang adalah kepala dan kaki bukit.
5. Jika fitur dan kontur tidak sesuai dengan aturan, qi akan melarikan diri terburu-buru.
6. Seperti untuk penguburan manusia, benar-benar ini adalah masalah sulit.
7. Membedakan cabang dan bukit membingungkan visi dan menipu pikiran.
8. Perbedaan antara nasib buruk dan baik memisahkan pangeran dari tahanan.

     
C. Fathoming Qi
1. Dibawa dalam logam, dibantu oleh air, dimakamkan di bumi, dan ditandai oleh kayu.
2. Di luar itu menangkap delapan angin, di dalamnya menyembunyikan lima elemen.
3. Lampu-lampu bersinar surgawi turun; energi duniawi dilakukan ke atas.
4. Yin dan yang campuran dan campuran, (membentuk) lima (berwarna) tanah dan empat kesempurnaan.
5. Dengan kecerdasan visi yang kuat dan totalitas keterampilan, mengejar sempurna dan menghindari yang tidak sempurna; menambah tinggi dan rendah.
6. Kehalusan terletak dalam kebijaksanaan; menyimpulkan dari analogi dan dengan demikian mengambil keuntungan.
7. Dengan memahami yin dan yang misterius; melalui keterampilan merebut (merit) dibuat (oleh surga).


 
VI. Naga Lair

     
A. Terminus ini
1. Contour adalah seperti sepuluh ribu kuda turun dari Surga.
2. Fitur menara ke atas di antara puncak seperti back up ke layar hias.
3. Menurut feng shui seni, mengubur pada ujung itu.

     
B. Naga
1. Classic mengatakan: Dimana kontur berhenti dan fitur melambung tinggi, dengan sungai di depan dan bukit di belakang, di sini menyembunyikan kepala naga.
2. Moncong dan dahi yang menguntungkan, tanduk dan mata membawa malapetaka.
3. Telinga mendapatkan pangeran dan raja; bibir dapat menyebabkan kematian atau cedera akibat senjata.
4. Mana angin medan sekitar dan mengumpulkan di pusat, ini disebut perut naga.
5. Dimana pusar yang dalam dan berkelok-kelok, keturunan akan memiliki keberuntungan.
6. Jika dada dan tulang rusuk yang terluka, pemakaman di pagi hari akan membawa menangis malam itu.

 


VII. Eksternal dan Internal Qi



     
A. Mengalir Qi
1. Eksternal qi adalah bahwa dengan qi yang internal yang dikumpulkan.
2. Air yang mengalir lintas-bijaksana adalah cara untuk mempertahankan memajukan naga.
3. Kontur jauh angin di sekitar dan datang untuk beristirahat.
4. Jika eksternal tidak memiliki sarana untuk menumpuk internal, qi menghilang dalam tanah.
5. Classic mengatakan: sarang yang tidak menimbun hanya akan pelabuhan tulang membusuk.

      
B. Hembusan Qi
1. Hembusan qi memiliki kemampuan untuk mengusir qi yang bersifat vital.
2. Naga dan harimau adalah apa yang melindungi distrik sarang.
3. Di sebuah bukit di tengah lipatan strata, jika terbuka ke kiri atau ke kanan kosong, jika kosong di depan atau cekungan di belakang, qi yang vital akan menghilang dalam angin bertiup.
4. Classic mengatakan: Sebuah sarang dengan kebocoran hanya akan pelabuhan peti mati membusuk.

     
C. Tanah
1. Tanah harus baik-baik dan tegas, lembab dan berkilau, melainkan harus cleavable seperti giok atau lemak, dan terdiri dari semua lima warna.
2. Jika kering seperti butir padi-padian, atau basah seperti daging dipotong; jika ada mata air atau kerikil, semua ini membuat kuburan menguntungkan.


 
VIII. Kardinal Aspek

     
A. Empat Aspek
1. Mengubur dengan Naga Cerulean ke kiri, Macan Putih ke kanan, Vermilion Burung di depan, dan Turtle gelap di belakang.
2. Turtle Gelap menggantung kepalanya; melayang Vermilion Burung dalam tarian, sedangkan Cerulean gulungan Naga sinuously; yang membungkuk Macan Putih bawah.
3. Jika kontur dan fitur tidak sesuai dengan ini, menurut seni fengshui, akan ada kehancuran dan kematian.
4. Oleh karena itu harimau merunduk dikatakan untuk memegang mayat di mulutnya.
5. Naga melingkar dikatakan cemburu kehidupan.
6. Turtle gelap yang tidak terkulai akan menolak mayat.
7. Burung Vermilion yang tidak tari akan melambung off.

     
B. Arteri ke Timur dan Barat
1. Pada Lokal di mana arteri naga dan harimau, gundukan dan bukit sisa-sisa muka dan penghentian.
2. Mereka harus seperti lekukan lengan dan dikatakan mengepung dan merangkul.

     
C. Air ke Selatan
1. Pada Lokal dimana air adalah Vermilion Burung, penurunan dan kemakmuran mengandalkan kemanjuran fitur.
2. Derasnya arus yang tabu dan dikatakan untuk membawa kesedihan dan tangisan.
3. Dari sumber di Vermilion Burung qi yang vital akan musim semi.
4. Perairan yang menyimpang tidak akan membawa kemakmuran.
5. Dalam penyatuan perairan qi akan terakumulasi dalam kelimpahan besar.
6. Dari perairan stagnan datang menurun.
7. Waters terbatas dan menahan kembali meluap dan mengalir tanpa berhenti.
8. (Menurut alami) hukum, di tikungan setiap (sungai) kolam air sebelum mengalir.
9. Melayang lembut, penggandaan kembali kepada kami pada titik yang tersisa.
10. Masuknya adalah tanpa sumber; egress adalah tanpa jalan keluar.
11. Classic mengatakan: Dimana gunung mengelilingi muka dan perairan, ada bangsawan, umur panjang dan kekayaan.
12. Mana gunung-gunung dan aliran air memenjarakan (lurus), raja dan pangeran diperbudak hancur.


 
Bab ini Miscellaneous


 
IX. Membaca Terrain
A. Bentuk Kontur
1. Pada seni pegunungan meramal, membaca kontur adalah yang paling sulit, fitur yang berikutnya dalam kesulitan; dan arah adalah yang paling sulit.
2. Penguburan di medan menyerupai sepuluh ribu kuda turun dari Surga akan menimbulkan raja-raja.
3. Terrain menyerupai gelombang kolosal, corrugations dari tebing dan alur-alur rentang, akan menghasilkan pangeran dan adipati dari seribu kereta.
4. Terrain menyerupai naga turun, [9] dikelilingi oleh air, yang dihadiri oleh awan, menghasilkan pangkat dan gaji dari Tiga Menteri Agung.
5. Terrain menyerupai sebuah rumah megah dengan vegetasi subur dan pohon-pohon yang menjulang tinggi akan menimbulkan pendiri negara atau prefektur.
6. Terrain menyerupai ular takut, memutar dan berkelok-kelok di lereng bertahap, topples negara dan memadamkan klan.
7. Terrain sebagai runcing sebagai kapak dan tombak-belati, di sini tentara mati, dihukum atau dipenjara.
8. Terrain seperti air yang mengalir cepat-membuat orang yang hidup melihat hantu.
B. Fitur Bentuk
1. Jika fitur menyerupai sarang walet, menurut hukum feng shui, penguburan harus terjadi dalam masa reses, dan (keturunan akan) diinvestasikan dengan sebuah perdikan.
2. Jika fitur menyerupai sebuah kapal terbalik anggur, dengan bukit-bukit di belakang maju dari kejauhan, dan di depan, dataran yang sesuai berkelok-kelok dan berputar-putar, (keturunan akan mencapai pangkat) sembilan bangsawan dan tiga menteri.
3. Jika fitur menyerupai kuali terbalik, di puncak kekayaan yang diperoleh.
4. Jika fitur menyerupai mahkota pohon, akan ada kemakmuran abadi dan sukacita.
5. Jika fitur menyerupai casting banyak, seratus urusan akan bingung dan teratur.
6. Jika fitur menyerupai pakaian acak-acakan, perempuan akan cemburu dan istri akan nakal.
7. Jika fitur menyerupai kantong sampah, rumah dan lumbung akan membakar.
8. Jika fitur menyerupai perahu terbalik, perempuan akan sakit dan orang akan dipenjara.
9. Jika fitur menyerupai meja panjang, anak-anak dan cucu akan mati.
10. Jika fitur menyerupai pedang berbaring, akan ada eksekusi dan perampasan.
11. Jika fitur menyerupai belati ditarik, hasil terhadap kemalangan dan melarikan diri dari bencana.
C. Bentuk Lain
1. Lembu berbaring dan berpacu kuda.
2. Phoenix tari dan melambung.
3. Gulungan ular terbang dan angin.
4. Kura-kura, buaya, kura-kura dan terrapin dibedakan oleh penggunaan air.
5. Sapi adalah kekayaan, phoenix mulia.
6. Ular terbang adalah musibah dan bahaya.
7. Jenis medan yang aktif dan gelisah semua tidak cocok untuk dimakamkan.
8. Ketika empat bantalan tak terduga mereka semua harus dijauhi, menurut hukum feng shui.
D. Hubungan antara Kontur dan Fitur
1. Kontur dan fitur yang sesuai satu sama lain menguntungkan.
2. Kontur dan fitur yang benturan yang menguntungkan.
3. Jika kontur yang menguntungkan, dan fitur menguntungkan, ada harapan untuk satu kebahagiaan dalam seratus.
4. Jika kontur yang menguntungkan, dan fitur menguntungkan, kemalangan jeda bukan untuk esok.


 
Membaca Arah X.
A. Delapan Naga
1. Classic mengatakan: Bumi memiliki Empat Aspek; qi mengikuti Delapan Arah.
2. Yan, shen, si, dan hai adalah Empat Aspek.
3. Zhen, li, kan, DUI, Qian, kun, gen dan xuan [10] adalah Delapan Arah.
4. Empat Aspek mengaktifkan naga, dan Delapan Naga menganugerahkan kehidupan.
5. Jika tempat tinggal memperoleh kesatuan, akan ada keberuntungan, berkat, kehormatan dan kemuliaan.
B. Delapan Arah
1. Arah diukur dengan gnomon bumi.
2. Jarak diukur dengan aturan batu giok.
3. Penguburan situs dalam arah Qian memerlukan kontur yang naik dan turun terus-menerus; fitur harus luas dan persegi.
4. Penguburan situs dalam arah kun membutuhkan kontur seperti layar dipartisi dengan tidak miring, fitur harus luas dan tingkat.
5. Situs dalam arah gen memerlukan kontur yang berliku-liku dan menghasilkan; fitur harus tinggi, puncak curam.
6. Situs dalam arah xuan memerlukan kontur yang tinggi dan mewah, fitur harus tajam dan mengesankan.
7. Situs dalam arah zhen memerlukan kontur yang bertahap dan harmonis; fitur harus menjulang tinggi dan berwibawa.
8. Situs dalam arah li memerlukan kontur yang menyebar dan arch; fitur harus naik dan tinggi.
9. Situs dalam arah DUI membutuhkan kontur untuk memajukan anggun dengan mendaki lereng; fitur harus persegi dan tingkat.
10. Situs di arah kan memerlukan kontur yang panjang dan berliku, fitur harus vertikal mewah dan agung.
C. Tiga dan Enam Situasi
1. Sesungguhnya, ada tiga situasi untuk sarang keberuntungan dan enam situasi untuk penguburan sial.
2. Lampu-lampu bersinar surgawi turun, dan energi dilakukan atas duniawi.
3. Pertahankan roh di bersama matahari dan bulan; menyambut dewa-dewa, dan menghindari hantu-hantu: ini adalah situasi menguntungkan pertama.
4. Blend dan campuran yin dan yang, bentuk (berwarna) tanah lima dan empat kesempurnaan: ini adalah situasi menguntungkan kedua.
5. Dengan kecerdasan visi yang kuat dan totalitas keterampilan, mengejar sempurna dan menghindari yang tidak sempurna, menambah tinggi dan rendah: ini adalah situasi menguntungkan ketiga.
6. Ketika yin dan yang mengganggu, ini adalah situasi menguntungkan pertama.
7. Ketika waktu dan konflik musim, situasi ini menguntungkan kedua.
8. Ketika gaya adalah kecil tetapi niat yang besar, ini adalah situasi menguntungkan ketiga.
9. Mengandalkan nasib baik dan menganggap pengaruhnya atas kemalangan keempat.
10. Merebut superior dan inferior memaksa adalah musibah kelima.
11. Untuk mengubah tepat dan mengasingkan sebenarnya, ini adalah musibah keenam.
12. Classic mengatakan: Jika sarang yang menguntungkan, tetapi pemakaman tidak, ini adalah sama dengan membuang mayat.

 



 


Catatan kaki

    
[1] Qi adalah sine qua non untuk setiap diskusi tentang feng shui. Dalam Kitab Pemakaman itu adalah qi sheng khususnya bahwa penguburan ini bergantung. Sebelum filsafat ahli kosmologi dinasti Han, qi adalah sesuatu seperti Yunani pneuma (angin, udara, napas). Dalam salah satu konteks yang paling awal (Zuozhuan: Zhao 1 / 8) qi adalah kategori meteorologi terdiri dari enam kekuatan atmosfer dingin dan hangat, angin dan hujan, dan kegelapan dan cahaya. Ketika tubuh manusia menerima kelebihan pengaruh-pengaruh eksternal, konsekuensinya adalah manifestasi fisik dari demam, menggigil, delusi, dll Dengan waktu Mozi, qi terlihat terutama untuk merujuk kepada fenomena manusia:
Para bijak-raja merasa cukup khawatir, berpikir bahwa gua bisa menjaga dari angin dan dingin di musim dingin, tetapi bahwa dalam musim panas itu akan basah di bawah dan mengukus atas yang bisa menyakiti qi rakyat. Jadi istana dan rumah-rumah dibangun. (Mei, 244;. Mozi bab 21)
Selama Warring States dan awal periode Han qi mendapatkan signifikansi kosmis sebagai "fluida universal, aktif sebagai Yang dan pasif sebagai Yin, dari mana semua hal dan berkondensasi menjadi yang mereka larut" (Graham, Disputers, 191). Para kosmogoni yang mulai bab 3 dari Huainanzi adalah ilustratif:

    
Dao dimulai pada Void samar-samar.
    
Void samar-samar yang dihasilkan ruang-waktu;
    
Ruang-waktu primordial yang dihasilkan qi. . . .
    
Itu yang murni dan terang menyebar membentuk Surga;
    
Para berat dan keruh membeku untuk membentuk bumi. . . .
    
Esensi siam Surga dan Bumi diproduksi yin dan yang.
    
Supercessive esensi dari yin dan yang menyebabkan empat musim. (Mayor, 62)
Alam semesta di sini digambarkan sebagai datang ke yang merupakan proses lebih dari peristiwa. Pada saat yang sama bahwa kosmos menjadi substansi dalam ruang, itu juga menjadi proses yang abadi sepanjang waktu (Graham, 279). Datang menjadi ada adalah siklus berulang, bukan peristiwa tunggal. Jadi selama setahun ini Yang qi lilin dengan mengorbankan yin sampai dengan titik balik matahari musim panas, dan kemudian berkurang dalam mendukung yin sampai dengan titik balik matahari musim dingin (Graham, 351). Referensi paling awal untuk sheng qi adalah Chunqiu Lushi dalam sebuah bagian menggambarkan siklus. Dalam bulan terakhir musim semi, kita diberitahu, "sheng qi berkembang, dan yang qi mengalir sebagainya; tunas muncul, dan tunas terungkap." Dari konteks ini jelas bahwa istilah berarti sesuatu yang seperti "enerji yang memberi kehidupan." terjemahan ini aku menahan diri dari menerjemahkan qi.



  
[2] Wuxing, atau "lima gerakan," awalnya milik Bumi: "Surga memiliki tiga lampu, Bumi memiliki gerakan lima" (Zuozhuan, Chao 32; Legge 741). Dalam penjelasan pertama Wuxing itu dipahami sebagai proses alami seperti tenggelam air, api meningkat, kayu lentur, cetakan logam, dan tanah tumbuh (Shujing, "Hongfan"; Legge 325). Oleh dinasti Han Wuxing telah menjadi lima negara bagian atau fase qi, analog dengan tiga negara air: padat, cair, dan gas.



  
[3] Menurut Huainanzi, "Segala sesuatu adalah sama seperti mereka qi; segala sesuatu menanggapi kelas mereka sendiri" (Huainanzi 4.VIII.27), dan "Hal-hal dalam kelas yang sama saling bergerak satu sama lain; akar dan ranting saling menanggapi satu sama lain "(Huainanzi 3.II.27-28).



  
[4] Pada masa pemerintahan Kaisar Wu dari Han lonceng perunggu di Istana Weiyang tiba-tiba berdentang tanpa alasan yang jelas. Dongfang Shuo, pelawak pengadilan kaisar, menjelaskan fenomena ini sebagai akibat dari runtuhnya Gunung Tembaga. Beberapa hari kemudian berita datang dari Shu di barat bahwa memang tambang telah runtuh. Ketika ditanya bagaimana ia telah benar dirasakan penyebab bel berdentang perunggu, Dongfang Shuo menjawab bahwa "Tembaga diekstrak dari pegunungan, dan qi saling beresonansi, seperti orang menerima tubuh mereka dari ayah dan ibu mereka."



  
[5] Menurut Zhuangzi, "Manusia hidup karena konglomerasi qi, dan ketika mereka tersebar kematian terjadi" (Zhuangzi 22,11; Needham II: 76). Wang Chong, yang skeptis dinasti Han Kemudian, menguraikan ide ini: "Seperti air berubah menjadi es, sehingga qi mengkristal untuk membentuk tubuh manusia," dan "Bahwa dengan mana manusia lahir adalah dua qi Yin dan Yang . Qi Yin menghasilkan tulang dan daging; qi Yang penting semangat-Nya "(Lun Heng, bab 62;. Forke 1:92; Needham 2:369).. Para "sprit vital" panjang (jing shen) tidak terjadi dalam Kitab Pemakaman.



  
[6] Bagian ini membedakan dua kelas utama dari daerah yang diperlukan untuk mencari keberadaan qi. Setiap kelas ini diwujudkan dalam bentuk sepasang gunung-qiu atau "bukit" dan panjang atau "batu karang," di satu sisi, dan geng atau "bank" dan fu atau "gundukan," di sisi lain. Hills dan tebing yang ditandai oleh adanya formasi batuan, bank dan gundukan oleh tidak adanya batu. Terlepas dari komposisi medan, peramal tujuan adalah untuk menemukan sistem atau rantai bentuk yang akan menjadi bukti dari aliran qi. Sistem ini dijelaskan dalam istilah antropomorfik-"" tulang "atau kisaran bukit dan tebing-tebing, dan" (arteri) cabang "atau pegunungan bank dan gundukan. Seperti arteri atau pembuluh darah dalam tubuh manusia, metafora yang digunakan di tempat cabang kemudian dalam teks (lihat III.A.1), sistem ini geologi menonjol sebagai bank dan gundukan atau menjalankan tersembunyi di bawah tanah. Para peramal yang berpengalaman dapat menemukan pembuluh darah terendam dengan mengikuti aliran medan terbuka.


RAMALAN DARMOGANDUL



DARMAGANDHUL.

Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene "Mau-maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama Buddha salin agama Islam?"

(Pada suatu hari bertanyalah Darmagandhul pada Kalamwadi sebagai berikut, "Asal mulanya bagaimana, kok orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berubah menganut Agama Islam?")

Wangsulane Ki Kalamwadi: "Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku wis tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna dipracaya, nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama Buddha banjur salin agama Rasul".

(Jawabannya Ki Kalamwadi, "Saya sendiri juga tidak begitu mengerti, tapi saya sudah pernah diberi tahu oleh guru saya, selain itu guru saya itu juga bisa dipercaya, [Beliau] menceritakan asal mulanya orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berganti menganut agama Rasul (Islam).")

Ature Darmagandhul: "Banjur kapriye dongengane?"

(Darmagandhul bertanya, "Bagaimana kalau begitu ceritanya?")

Ki Kalamwadi banjur ngandika maneh: "Bab iki satêmêne iya prêlu dikandhakake, supaya wong kang ora ngrêti mula-bukane karêben ngrêti".

(Ki Kalamwadi lalu berkata lagi, "Hal ini sesungguhnya juga perlu diungkapkan agar orang yang tidak tahu asal mulanya menjadi tahu.")

Ing jaman kuna nagara Majapahit iku jênênge nagara Majalêngka, dene ênggone jênêng Majapahit iku, mung kanggo pasêmon, nanging kang durung ngrêti dêdongengane iya Majapahit iku wis jênêng sakawit. (1) Ing nagara Majalêngka kang jumênêng Nata wêkasan jêjuluk Prabu Brawijaya.

(Pada zaman kuno, Kerajaan Majapahit itu namanya Kerajaan Majalengka, sedangkan nama Majapathit itu, hanya sebagai perumpamaan, tetapi bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit itu telah merupakan namanya semenjak awal. (1) Di Kerajaan Majapahit yang berkuasa sebagai Raja adalah Prabu Brawijaya.)

Ing wêktu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu krama oleh Putri Cêmpa, (2) ing mangka Putri Cêmpa mau agamane Islam, sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang Nata, bab luruhe agama Islam, sabên marak, ora ana maneh kang diaturake, kajaba mung mulyakake agama Islam, nganti njalari katariking panggalihe Sang Prabu marang agama Islam mau.

(Pada saat itu, Sang Prabu sedang dimabuk asmara, ia menikah dengan Putri Cempa, (2) karena Putri Cempa itu beragama Islam, maka saat sedang berdua-duaan, Sang Putri [selalu] berbicara pada sang Raja, mengenai agama Islam. Tiap kali berkata-kata, tidak ada hal lain yang dibicarakan, selain mengagung-agungkan agama Islam, sehingga menyebabkan tertariknya hati Sang Prabu akan agama Islam.)

Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran Sayid Rakhmat tinjo mênyang Majalêngka, sarta nyuwun idi marang Sang Nata, kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasul.

(Tidak berama lama datanglah pengikut Putri Cempa yang bernama Sayid Rakhmat ke Majalengka. Ia minta izin pada sang raja, untuk menggelar penyebaran agama Rasul (Islam).)

Sang Prabu iya marêngake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau. Sayid Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana Ngampeldênta ing Surabaya (3) anggêlarake agama Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padha marêk sang Prabu ing Majalêngka, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing pasisir.

(Sang Prabu juga mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid Rakhmat itu. Sayid Rakhmat lalu mendirikan sebuah desa kecil (dukuh) di Ngampeldenta, Surabaya. Ia mengajar agama Islam di sana. Selanjutnya makin banyak para ulama dari seberang yang datang. Para ulama dan para maulana itu beramai-ramai menghadap sang raja di Majalengka, serta sama-sama meminta desa kecil di daerah pesisir.)

Panyuwunan mangkono mau uga diparêngake dening Sang Nata. Suwe-suwe pangidhêp mangkono mau saya ngrêbda, wong Jawa banjur akeh bangêt kang padha agama Islam.

(Permintaan tersebut juga dikabulkan oleh Sang Raja. Lama-lama perkampungan kecil semacam itu makin menjamur, orang Jawa makin banyak yang beragama Islam.)

Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama Islam kabeh, dene panggonane ana ing Benang (4) bawah Tuban. Sayid Kramat iku maulana saka ing 'Arab têdhake Kanjêng Nabi Rasulu'llah, mula bisa dadi gurune wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu maguru marang Sayid Kramat. Wong Jawa ing pasisir lor sapangulon sapangetan padha ninggal agamane Buddha, banjur ngrasuk agama Rasul. Ing Blambangan sapangulon nganti tumêka ing Bantên, wonge uga padha kelu rêmbuge Sayid Kramat.

(Sayid Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah menganut agama Islam. Tempat menetapnya berada di Benang (juga disebut Bonang - penterjemah), Tuban. Sayid Kramat itu adalah pemuka agama yang berasal dari Arab, atau tempat kelahirannya Nabi Muhammad, sehingga dapat menjadi gurunya para penganut agama Islam. Banyak orang Jawa yang berguru pada Sayid Kramat. Orang Jawa di pesisir utara, baik bagian barat maupun timur, sama-sama meninggalkan agama Buddha dan berpindah masuk Islam. Dari Blambangan ke arah barat hingga Banten,
banyak orang yang telah mematuhi perkataan Sayid Kramat.)

Mangka agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kêlakon urip nganti sewu taun, dene wong-wonge padha manêmbah marang Budi Hawa. Budi iku Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku karêping hati, manusa ora bisa apa- apa, bisane mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.

(Pada saat itu agama Buddha telah dianut di tanah Jawa selama seribu tahun, para penganutnya menyembah pada Budi Hawa. Budi adalah Zat dari Hyang Widdhi, sedangkan Hawa itu adalah kehendak hati. Manusia itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menjalankan, tetapi budi yang mengubah segalanya.)

Sang Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka Putri Bangsa Cina, miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi têtêngêr Raden Patah.

(Raja Brawijaya memiliki putra dari seorang putri berkebangsaan Cina. Putranya itu lahir di Palembang, dan diberi nama Raden Patah.)

Barêng Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti sadhereke seje rama tunggal ibu, arane Raden Kusen. Satêkane Majalêngka Sang Prabu kewran panggalihe ênggone arêp maringi sêsêbutan marang putrane, awit yen miturut lêluri saka ingkang rama, Jawa Buddha agamane, yen nglêluri lêluhur kuna, putraning Nata kang pambabare ana ing gunung, sêsêbutane Bambang.

(Tatkala Raden Patah sudah dewasa, ia mengunjungi ayahnya. Ia memiliki saudara lain ibu yang bernama Raden Kusen. Setibanya di Majalengka Sang Prabu bingung hatinya untuk memberi nama pada puteranya. Sebab menurut tradisi leluhur Jawa yang beragama Buddha, putra raja yang lahir di gunung, disebut Bambang.)

Yen miturut ibu, sêsêbutane: Kaotiang, dene yen wong 'Arab sêsêbutane Sayid utawa Sarib. Sang Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka, padha dipundhuti têtimbangan ênggone arêp maringi sêsêbutan ingkang putra mau. Saka ature Patih, yen miturut lêluhur kuna putrane Sang Prabu mau disêbut Bambang, nanging sarehne ibune bangsa Cina, prayoga disêbut Babah, têgêse pambabare ana nagara liya.

(Kalau menurut ibunya, namanya adalah Kaotiang, yaitu kalau dalam bahasa Arab disebut Sayid atau Sarib. Sang Prabu lalu memanggip para patih dan pegawai kerajaan. Mereka diminta pendapatnya di dalam memberikan nama bagi putranya itu. Patih berkata bahwa kalau menurut leluhur zaman dahulu, anak raja itu seharusnya diberi nama Bambang, tetapi karena ibunya berkembangsaan Cina, maka seharusnya disebut Babah, yang artinya lahirnya ada di negara lain.)

Ature Patih kang mangkono mau, para nayaka uga padha mupakat, mula Sang Nata iya banjur dhawuh marang padha wadya, yen putra Nata kang miyos ana ing Palembang iku diparingi sêsêbutan lan asma Babah Patah. Katêlah nganti tumêka saprene, yen blastêran Cina lan Jawa sêsêbutane Babah.

(Pendapat sang patih tersebut juga disepakati oleh para pegawai kerajaan. Oleh karenanya sang raja mengumumkan bahwa putranya itu yang lahir di Palembang, diberi nama Babah Patah. Hingga sampai sekarang, orang yang berdarah campuran Cina dan Jawa diberi nama Babah.)

Ing nalika samana, Babah Patah wêdi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang rama, mulane katone iya sênêng, sênênge mau amung kanggo samudana bae, mungguh satêmêne ora sênêng bangêt ênggone diparingi sêsêbutan Babah iku.

(Babah Patah, takut kalau tidak mematuhi sabda bapaknya, karena itu bersikap seolah-olah senang. Padahal ia tidak benar-benar senang- senang diberi nama Babah.)

Ing nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing Dêmak, madanani para bupati urut pasisir Dêmak sapangulon, sarta Babah Patah dipalakramakake oleh ing Ngampelgadhing, kabênêr wayahe kiyai Agêng Ngampel.

(Kemudian Babah Patah diangkat menjadi bupati di Demak, untuk mengepalai para bupati di pesisir Demak ke arah barat. Babah Patah lalu diperintahkan untuk berguru di Ngampelgadhing, yang kebetulan dikepalai oleh Kyai Ageng Ngampel.)

Barêng wis sawatara masa, banjur boyong marang Dêmak, ana ing desa Bintara, sarta sarehne Babah Patah nalika ana ing Palembang agamane wis Islam, anane ing Dêmak didhawuhi nglêstarekake agamane, dene Raden Kusen ing nalika iku jinunjung dadi Adipati ana ing Têrung (5), pinaringan nama sarta sêsêbutan Raden Arya Pêcattandha.

(Ketika waktunya telah tiba, ia pindah ke Demak, yakni ke desa Bintara. Sebetulnya Babah Patah telah beragama Islam saat di Palembang. Oleh sebab itu, tatkala telah berada di Demak, ia diperintahkan untuk melestarikan agamanya. Sedangkan Raden Kusen diangkat menjadi adipati di Terung, dan diberi gelar Raden Arya Pecattandha.)

Suwening suwe sarak Rasul saya ngrêbda, para ngulama padha nyuwun pangkat sarta padha duwe sêsêbutan Sunan, Sunan iku têgêse budi, uwite kawruh kaelingan kang bêcik lan kang ala, yen wohe budi ngrêti marang kaelingan bêcik, iku wajib sinuwunan kawruhe ngelmu lair batin. Ing wêktu iku para ngulama budine bêcik-bêcik, durung padha duwe karêp kang cidra, isih padha cêgah dhahar sarta cêgah sare.

(Makin lama agama Rasul makin menyebar luas, para ulama menjadi ingin memiliki gelar, dimana kemudian mereka digelari Sunan. Sunan itu artinya budi, pohon pengetahuan kesadaran pada yang baik dan buruk. Jika buah budi itu menyadari akan kebaikan, maka ia wajib menuntut ilmu lahir dan bathin. Pada saat itu para ulama masih memiliki hati yang baik, belum memiliki keinginan buruk, masih menahan diri dari makan dan tidur.)

Sang Prabu Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha, kok nganggo sêsêbutan Sunan, lakune isih padha cêgah mangan, cêgah turu. Yen sarak rasul, sirik cêgah mangan turu, mung nuruti rasaning lesan lan awak. Yen cêgah mangan rusak, Prabu Brawijaya uga banjur paring idi. Suwe-suwe agama Rasul saya sumêbar.

(Sang Prabu Brawijaya jadi jatuh hati, para ulama itu dikiranya Buddha, tetapi kok disebut Sunan. Tingkah laku mereka masih menahan diri dari makan dan tidur. Apabila mengikuti rasul, maka mereka [seharusnya] bukan menahan diri dari makan dan tidur, melainkan hanya menuruti hawa nafsu keinginan. Tatkala kebiasaan menahan diri dari makan dan tidur telah rusak, tetapi Prabu Brawijaya telah terlanjur
memberikan angin. Makin lama agama rasul makin menyebar.)

Ing wêktu iku ana nalar kang aneh, ora kêna dikawruhi sarana netra karna sarta lesan, wêtune saka engêtan, jroning utêk iku yen diwarahi budi nyambut gawe, kang maca lan kang krungu nganggêp têmên lan ora, iya kudu ditimbang ing sabênêre, saiki isih ana wujuding patilasane, isih kêna dinyatakake, mula saka pangiraku iya nyata.

(Pada saat itu ada peristiwa-peristiwa yang aneh yang tidak masuk akal. Peristiwa-peristiwa tersebut diketahui dari ingatan semata. Apabila membaca atau mendengar, maka perlu dipertimbangkan benar dan tidaknya. Tetapi karena sampai sekarang masih ada peninggalannya, maka menurut pendapatku hal tersebut benar-benar terjadi.)

Dhek nalika samana Sunan Benang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Benang sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti- niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.

(Pada saat itu Sunan Benang bersiap-siap untuk mengunjungi Kediri, yang mengantarnya hanya dua orang sahabat. Ketika tiba di utara Kediri, yaitu di tanah Kertasana, mereka terhalang oleh air. Sungai Brantas saat itu kebetulan sedang banjir. Sunan Benang dan dua orang sahabatnya sama-sama menyeberang, dan ketika telah tiba di seberang ia mencari tahu apakah orang di sana telah beragama Islam, ataukah
masih menganut agama Budi.)

Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah. Sunan Benang ngandika: "Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah".

(Menurut Ki Bandar, orang di sana agamanya Kalang, bukan Buddha namun mirip, sedangkan agama Rasul masih sedikit sekali tersebarnya. Orang di sana yang sebagian besar beragama Kalang memuliakan Bandung Bandawasa. Bandung dianggap nabi mereka. Pada saat hari perayaan keagamaan mereka bersama-sama makan enak dan bersenang-senang di rumah. Sunan Benang berkata, "Jika begitu maka orang di sini sama- sama beragama Gedhah, Gedhah itu tidak hitam ataupun putih. Tempat ini pantas disebut Kutha Gedhah.")

Ki Bandar matur: "Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang nêkseni". Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah, nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.

(Ki Bandar menjawab, "Baik, yang mulia, saya yang menjadi saksi." Tempat di bagian utara Kediri namanya mulai sekarang adalah Kutha Gedhah." Hingga saat ini masih disebut dengan Kutha Gedhah, tetapi orang jarang mengetahui asal mula nama tersebut.)

Sunan Benang ngandika marang sakabate: "Kowe goleka banyu imbon mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp salat".

(Sunan Benang berkata pada sahabatnya, "Carilah air minum di desa, sungai masih banjir dan airnya keruh. Jika diminum maka akan menyebabkan sakit perut. Selain itu sudah waktunya salat Lohor. Saya mau wudhu untuk salat")

Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu, têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: "mBok Nganten, kula nêdha toya imbon bêning rêsik". mBok Prawan kaget krungu swarane wong lanang, barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan salah cipta, pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang
dheweke, mula ênggone mangsuli nganggo têmbung saru: "nDika mêntas liwat kali têka ngangge ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng ngombe".

(Salah seorang sahabatnya lalu pergi ke desa mencari air minum. Ia sampai di desa Pathuk dan menjumpai rumah yang nampaknya tidak ada prianya. Yang ada hanya seorang gadis perawan menjelang dewasa, dimana saat itu ia sedang menenun. Sahabat Sunan Benang mendekat serta berkata perlahan, "Mbok Nganten (panggilan terhadap wanita dalam bahasa Jawa), saya minta air minum yang bening dan bersih."
Gadis perawan itu terkejut mendengar suara pria, ketika menoleh ia melihat seorang pria yang nampaknya mirip santri. Gadis perawan tersebut salah sangka, ia mengira orang tersebut ingin menggodanya, maka dijawabnya dengan perkataan kotor, "Anda menyeberang sungai datang kemari untuk minta air minum. Di sini tidak ada air minum, selain air kencing saya yang bening, jika Anda ingin meminumnya.")

Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan, satêkane ngarsane Sunan Benang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu. Sunan Benang mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi jaka
tuwa, barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika kali Brantas iline dadi cilik, iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas sawah lan patêgalan, akeh desa kang padha rusak, awit katrajang ilining banyu kali kang ngalih iline, kali kang maune iline gêdhe sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang
banyu, jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan Benang têrus tindak mênyang Kadhiri.

(Sang santri yang mendengar ucapan kotor itu pergi tanpa pamit dan jalannya dicepat-cepatkan. Ia menggerutu dalam hati dan menceritakan pengalamannya di hadapan Sunan Bonang. Ketika mendengar hal itu Sunan Bonang marah sekali, ia kemudian mengucapkan sumpah serapah pada warga desa tersebut. Tempat itu dikutuk agar susah mendapatkan air, para gadisnya akan terlambat menikah dan demikian pula kaum perjakanya. Sesudah kutukan tersebut diucapkan aliran Sungai Brantas menjadi kecil. Aliran sungai yang pada mulanya besar itu menyimpang dan membanjiri desa, sawah, dan ladang. Banyak desa yang rusak karena diterjang aliran sungai yang berpindah alirannya. Sungai yang pada mulanya deras alirannya itu menjadi surut. Hingga saat ini tempat tersebut menjadi susah air serta gadis dan perjakannya terlambat menikah. Sunan Benang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.)

Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana wong arane Sunan Benang, gawene nyikara marang para lêlêmbut, ngêndêl- êndêlake kaprawirane, kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat sanalika, iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka
Panggawene (Pada waktu itu ada seorang makhluk halus bernama Nyai Plencing,
yakni makhluk halus yang berdiam di sumur Tanjungtani. Anak cucunya para berkeluh kesah padanya, mereka melaporkan tindakan orang bernama Sunan Benang yang kegemarannya menyiksa para makhluk halus serta memamerkan kesaktiannya. Sungai yang mengalir di Kediri dijadikan surut airnya serta berpindah alirannya ke arah lain yang tidak seharusnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah, dan ladang yang rusak. Semua itu akibat ulah Sunan Bonang.)

Sunan Benang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah, Sunan Benang dhêmêne salah gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Benang, bisaa tumêka ing pati, dadi ora tansah ganggu gawe. Nyai Plêncing krungu wadule anak putune mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Benang, nanging dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Benang, amarga rasane awake
padha panas bangêt kaya diobong.

(Sunan Bonang juga mengutuk orang di sana, gadis dan perjaka akan terlambat kawin. Sunan Benang itu kegemarannya bertindak salah. Anak cucu Nyai Plencing bersama-sama memohon Nyai Plencing agar bersedia menyantet Sunan Benang sampai mati dan tidak menganggu mereka lagi. Nyai Plencing yang mendengar keluh kesan anak cucunya itu, segera pergi menjumpai Sunan Benang. Tetapi makhluk-makhluk halus tersebut tidak dapat mendekati Sunan Benang, karena tubuh mereka serasa panas
terbakar.)

Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri, satêkane ing Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. Ratune manggon ing Selabale. (6) Jênênge Buta Locaya, dene Selabale iku dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya, maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai daha iki cikal-bakal ing Kadhiri, barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha dipundhut kanggo jênênge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.

(Makhluk-makhluk halus itu lalu lari ke Kediri. Ketika tiba di sana mereka melaporkan pada rajanya segala hal yang mereka alami. Raja makhluk halus itu berdiam di Selabale, namanya adalah Buta Locaya. Selabale itu letaknya ada di kaki gunung Wilis. Buta Locaya itu adalah patih Sri Jayabaya, dulu namanya adalah kyai Daha dan memiliki adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha itu asal usulnya ada di Kediri. Pada saat Sri Jayabaya tiba di sana, nama Kyai Daha itu dijadikan nama negara dan ia kemudian diberi nama Buta Locaya dan dijadikan patih oleh Sang Prabu Jayabaya.)

Buta iku têgêse: butêng utawa bodho, Lo têgêse kowe, caya têgêse: kêna dipracaya, kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging têmên mantêp sêtya ing Gusti, mulane didadekake patih. Wiwite ana sêbutan kiyai, iya iku kiyai daha lan kiyai Daka, kiyai têgêse: ngayahi anak putune sarta wong-wong ing kanan keringe.

(Buta itu artinya buteng atau bodoh, Lo itu artinya kamu, caya artinya bisa dipercaya. Sehingga Kyai Buta Locaya itu artinya bodoh, tetapi kawan yang setia dan patuh pada pimpinannya. Oleh karena itu ia dijadikan patih. Yang pertama kali bergelar kyai adalah Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai itu artinya mengayomi anak cucu dan orang-orang yang berada di kanan-kirinya.)

Jêngkare Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing kono Sang Prabu sawadya-balane disugata, mula sang Prabu asih bangêt marang kiyai Daka, jênênge kiyai Daka dipundhut kanggo jênêng desa, dene kiyai Daka banjur diparingi jênêng kiyai Tunggulwulung, sarta dadi senapatining pêrang.

(Sang raja lalu menuju ke rumah Kyai Daka. Di sana Sang Prabu Jayabaya beserta seluruh pengikut dan pengawalnya disambut dengan meriah, sehingga sang raja sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka dijadikan nama desa dan selain itu ia diberi gelar Kyai Tunggulwulung serta diangkat menjadi panglima perang.)

Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.
Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen lahar mêtu supaya ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.

(Ketika Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan telah moksha, maka Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut moksha. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus seluruh Jawa. Pusat kerajannya ada di laut selatan dan digelari Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan dan daratan serta juga kanan kiri Tanah Jawa bersama-sama takluk pada Ni
Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale, sedangkan Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut. Ia mengawasi dan dan lahar agar supaya saat lahar keluar tidak merusak desa dan lain sebagainya.)

Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak, diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha ngadhêp, kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.

(Waktu itu Kyai Buta Locaya sedang duduk di singgasananya yang dialasi kasur permadani. Datang mengahadap patihnya bernama Megamendhung dan dua putra tertuanya juga hadir. Yang lebih tua bernama Panji Sektiguna dan adiknya bernama Sarilaut.)

Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Benang. Nyai Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.

(Buta Locaya sangat terkejut dengan laporan Nyai Plencing mengenai tingkah polah Sunan Benang yang merusak tanah di utara Kediri. Ia mengatakan bahwa Sunan Benang yang merusak itu orang dari Tuban yang berkelana ke Kediri. Nyai Plencing mengisahkan penderitaan para makhluk halus dan manusia.)

Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt dukane, sarirane nganti kaya gêni, sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan Benang. Para lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune barêng karo angin, ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring
desa Kukum, ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai Sumbre, dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora ngaton, kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring wit sambi, ngadhang lakune Sunan Benang kang saka êlor.

(Buta Locaya mendengar laporan Nyai Plencing itu menjadi sangat marah. Wajahnya menjadi merah padam bagaikan api. Ia segera memanggil anak-anaknya dan juga para makhluk halus jin serta peri. Ia mengajak mereka melawan Sunan Benang. Para makhluk halus itu bersiap-siap untuk perang. Mereka berjalan secepat angin, tidak berapa lama mereka tiba di utara desa Kukum, di sana Buta Locaya beralih wujud menjadi manusia yang bernama Kyai Sumbre. Ia kemudian berdiri di tengah jalan, di bawah pohon sambi, menghadang perjalanan Sunan Benang dari utara.)

Ora antara suwe têkane Sunan Benang saka lor, Sunan Benang wis ora kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku ratuning dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya mawa. Dene lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah kêna prabawane Sunan Benang. Mangkono uga Sunan Benang uga ora bêtah cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cêdhak mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.

(Tidak lama kemudian, Sunang Bonang datang dari arah utara. Ia sudah mengetahui bahwa yang berdiri di bawah pohon itu rajanya makhluk halus yang terlah bersiap-siap untuk menganggu dirinya. Dimana hal itu diketahui dari hawa panas yang keluar dari makhluk halus tersebut. Para makhluk halus yang berjumlah banyak tersebut bersama- sama menyingkir jauh-jauh karena tidak tahan dengan hawa kekuatan
Sunan Bonang. Namun Sunan Bonang juga tidak tahan berada di dekat Kyai Sumbre, karena kemanapun Sunan Bonang menyingkir, maka Kyai Sumbre ada di tempat itu pula.)

Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên, amarga kêna daya prabawane kiyai Sumbre.

(Dua orang sahabat Sunan Bonang pingsan, karena kedinginan. Mereka tidak tahan terkena hawa kekuatan Kyai Sumbre.)

Sunan Benang andangu marang kiyai Sumbre: "Buta Locaya! Kowe kok mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre, kowe apa padha slamêt?".

(Sunan Bonang menegur Kyai Sumbre, "Buta Locaya! Kamu menghadang jalanku, serta menyamar sebagai Sumbre. Apa kamu cari mati?")

Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Benang ngrêtos jênênge dheweke, dadi dheweke kawanguran karêpe, wusana banjur matur marang Sunan Benang: "Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula punika Buta Locaya?".

(Buta Locaya terkejut bukan main, karena Sunan Bonang mengetahui namanya, sehingga ia merasa ketahuan rahasianya. Lalu bertanyalah ia pada Sunan Bonang, "Darimana Anda dapat mengetahui bahwa saya adalah Buta Locaya?")

Sunan Benang ngandika: "Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya.".

(Sunan Bonang berkata, "Aku tidak tertipu, aku tahu bahwa engkau adalah rajanya para makhluk halus di Kediri, namamu adalah Buta Locaya.")

Kiyai Sumbre matur marang Sunan Benang: "Paduka punika tiyang punapa, dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi. Kados wangun walang kadung?".

(Kyai Sumbre menjawab pada Sunan Bonang, "Anda itu orang mana, kok tingkah lakunya tidak sopan, beda dengan adat istiadat Jawa. Seperti belalang saja [loncat sini loncat sana.")

Sunan Benang ngandika maneh: "Aku bangsa 'Arab, jênêngku Sayid Kramat, dene omahku ing Benang tanah Tuban, mungguh kang dadi sêdyaku arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?".

(Sunan Bonang berkata lagi, "Aku orang Arab, namaku adalah Sayid Kramat, sedangkan rumah saya ada di Bonang, Tuban. Aku ke Kediri karena ingin melihat peninggalan istana Sang Prabu Jayabaya. Istana tersebut dulunya berada di mana?")

Buta Locaya banjur matur: "Wetan punika wastanipun dhusun Mênang (9), sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna, pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking rêdi Kêlut.

(Buta Locaya menjawab, "Di sebelah timur itu, yakni di desa Menang, semua peninggalan telah musnah, istana serta tempat pesanggrahan juga telah tiada lagi. Istana dan taman istana Bagendhawati milik Ni Mas Ratu Pagedhongan juga telah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga telah sirna, yang tertinggal adalah nama desa itu. Semua itu musnah tertimbun tanah pasir dan lahar dari gunung Kelut.)

Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam, nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa, saiba susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên gampil pêncaripun titahing Latawalhujwa, makatên wau saking sabda paduka, sêpintên susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami risak, ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat, paduka sikara botên surup, nyikara tanpa prakara"

(Sekarang saya hendak bertanya, Anda menyiksa anak cucu Adam, mengucapkan sesuatu yang tidak patut diucapkan. [Mengutuk] orang menjadi perawan dan perjaka tua, dan juga mengubah nama menjadi Kutha Gedhah, memindah aliran sungai, dan selanjutnya mengutuk bahwa di daerah ini akan susah air. Itu namanya tindakan yang tidak berguna, menyiksa orang lain yang tak bersalah, menyebabkan susahnya kehidupan orang lain. Lelaki susah menemukan jodohnya. Tindakan itu bertentangan dengan titah dari Latawalhujwa. Semua itu berasal dari kutukan Anda, begitu besarnya kesusahan orang yang kebanjiran. Sungai Kediri berubah alirannya dan menerjang desa, hutan, sawah, berapa banyak yang rusak. Sedangkan di sini, Anda kutuk selamanya susah air, sungainya surut. Anda itu hanya menyiksa orang lain yang tidak bersalah.")

Sunan Benang ngandika: "Mula ing kene tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah, amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe agama biru, sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg."

(Sunan Bonang berkata, "Tempat ini aku ganti namanya menjadi Kutha Gedhah, karena orang di sini agamanya tidak hitam tidak putih, tepatnya agama biru, yakni agama Kalang. Aku kutuk susah air, karena saya minta air minum tidak boleh. Oleh karenanya, air sungainya saya rubah alirannya. Semua yang berada di sini saya kutuk susah air. Saya mengutuk agar orang di sini menjadi perawan dan perjaka tua, karena
tidak bersedia memberikan saya air minum, yaitu gadis perawan kurang ajar itu.")

Buta Locaya matur maneh: "Punika namanipun botên timbang kaliyan sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang satunggal ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah, lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen".

(Buta Locaya berkata lagi, "Itu namanya orang yang tanpa pertimbangan. Kesalahan tidak seberapa, dan selain itu hanya satu orang yang bersalah, tetapi Anda telah membuat susah orang banyak sekali. Tidak sesuai dengan hukumannya. Anda itu namanya membuat susah orang banyak. Seandainya diketahui yang memiliki negara, maka Anda akan dihukum melarat sekali, karenanya merusak tanah. Sudah begini saja, Anda tarik kembali kutukan Anda. Di sini menjadi melimpah air kembali, sehingga bisa untuk bercocok tanah. Pria dan wanita dapat kembali menikah pada usia mudah, sesuai dengan titah dari Hyang Manon. Anda itu bukan Narendra (gelar Wisnu, mungkin yang dimaksud Tuhan - penterjemah), tetapi kok datang-datang mengharubiru agama. Itu namanya orang berengsek.")

Sunan Benang ngandika: "Sanadyan kok-aturake Ratu Majalêngka aku ora wêdi".

(Sunan Bonang berkata, "Meskipun kamu laporkan Raja Majalengka saya tidak takut.")

Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu Majalêngka banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: "Rêmbag paduka niki dede rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon, ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge
prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên ingkang nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta ajrih sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun Aji Saka, muride Ijajil.

(Buta Locaya setelah mendengar bahwa Sunan Bonang tidak takut pada Raja Majalengka menjadi makin marah, kata-katanya menjadi keras, "Anda itu jelas sekali tidak mencerminkan seseorang yang bijaksana dan berbudi luhur, melainkan lebih tepat lagi disebut dengan gelandangan (bahasa asli apabila diterjemahkan secara harafiah adalah orang yang tinggal dalam rumah bambu- penterjemah). Beraninya
hanya mengandalkan kesaktiannya. Bersikaplah rendah hati sehingga dikasihi oleh Hyang Widdhi, dikasihi oleh sahabat, dan bukannya bertindak semau-maunya sendiri dengan tidak melihat kesalahannya. Itu namanya orang jahat yang tidak menimbang dulu permasalahannya. Di tanah Jawa ini, khan banyak orang yang kesaktiannya melebihi Anda, namun semuanya itu berbudi luhur dan tidak berusaha mengungguli para dewa. Mereka sama sekali tidak menyiksa orang lain tanpa melihat kesalahannya terlebih dahulu. Mengapa Anda meniru Aji Saka, muridnya Ijajil?)

Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang saking 'Arab, mila sami siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng dhatêng tiyang kathah, nanging kok jêbul botên makatên, wujud paduka
niki jajil bêlis katingal, botên tahan digodha lare, lajêng mubal nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa?

(Aji Saka menjadi raja tanah Jawa, tetapi tiga tahun kemudian pergi meninggalkannya, sumber air yang ada di Medhang juga dibawanya pergi. Aji Saka orang dari India, sedangkan Anda adalah orang Arab, karena itu sama-sama tidak menghargai sesama manusia. Sama-sama membuat sulit air. Anda itu mengaku-ngaku sebagai Sunan, khan seharusnya berbudi luhur, menciptakan kebajikan bagi orang banyak, tetapi kok malah tingkah lakunya seperti itu. Anda itu seperti iblis tingkah
lakunya. Tidak tahan digoda oleh anak kecil, lalu bangkit nafsu angkara murkanya. Sunan macam apa itu?)

Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun dados, lajêng paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa. Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya
kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula- têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula tamtu nyuwun bantu wadya bala dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang wontên samodra kidul".

(Kalau memang Anda sudah Sunan secara lahir bathin, maka seharusnya berbudi luhur. Anda menyiksa orang tanpa dosa, yaitu karena Anda dihina. Sehingga dengan demikian setelah ini Anda pantas masuk neraka jahanam. Kalau sudah mati, Anda akan tinggal di sana. Dimasukkan kawah air panas yang asapnya melimpah-limpah. Saya ini termasuk golongan makhluk halus, dan berbeda dengan kalian yang manusia.
Karenanya saya ini masih ingat dengan kesejahteraan umat manusia. Ya sudah, apa yang sudah rusak saya minta untuk diperbaikik kembali. Sungai yang surut dan tempat yang rusak diterjang banjir, saya minta dikembalikan seperti asal mulanya. Jika Anda tidak bersedia mengembalikannya, semua orang Jawa yang sudah masuk Islam akan saya santet agar mati semua. Saya tentu juga akan minta bala bantuan dari
Ratu Ayu Anginangin di laut selatan.")

Sunan Benang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute, dene gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur ngandika: "Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki bisa bali kaya mau-maune".

(Sunan Bonang setelah mendengar nasehat Buta Locaya jadi menyadari kesalahannya karena telah menyebabkan kesengsaraan banyak orang, maka berkatalah ia, "Buta Locaya, saya ini Sunan, tidak dapat menarik kembali ucapanku yang sudah keluar, besok jika telah genap lima ratus tahun, maka sungai ini kembali seperti semula.")

Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Benang, banjur nêpsu maneh, nuli matur marang Sunan Benang: "Kêdah paduka-wangsulna sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda".

(Buta Locaya setelah mendengar penolakan Sunan Bonang menjadi marah kembali, ia mengancam Sunan Bonang, "Harus dikembalikan sekarang juga, jika tidak bisa, maka Anda saya tahan di sini.")

Sunan Benang ngandika marang Buta Locaya: "Wis kowe ora kêna mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak-jênêngake cacil, dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta susahe jalma lan dhêmit, dak-suwun marang Rabbana, woh sambi dadi warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm
dadi pasêmoning ulat kêcut, dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre, dene panggonane balamu kang ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran".

(Sunan Bonang berkata pada Buta Locaya, "Sudah, kamu tidak perlu mengajari aku, aku pamit mau ke Magetan, buah sambi ini aku sebut cacil, karena kok seperti anak kecil berkelahi. Makhluk halus dan manusia berkelahi mengadu pengetahuan masalah rusaknya tanah, serta kesengsaraan manusia dan makhluk halus. Saya akan minta pada Tuhan, buah sambi akan menjadi dua warna, dagingnya menjadi masam, bijinya
agar keluar minyaknya. Asam itu menjadi lambang ulat masam, karena makhluk halus bertengkar dengan manusia. Minyak artinya makhluk halus menghalangi perginya manusia. Pada masa mendatang jadilah saksi kalau saya bertengkar dengan kamu. Dan mulai saat ini, tempat ini yang utara namanya desa Singkah, sedangkan yang di sini namanya Sumbre. Sedangkan tempat berkumpulnya pasukanmu di bagian selatan namanya dewa Kawanguran.")

Sunan Benang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana desa aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan, Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.

(Setelah berkata demikian, Sunan Bonang lalu melompat ke timur sungai. Hingga saat ini di Kutha Gedhah ada desa bernama Kawanguran, Sumbre, dan Singkal. Kawanguran artinya pengetathuan. Singkah artinya menemukan akal budi.)

Buta Locaya nututi tindake Sunan Benang. Sunan Benang tindake têkan ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Benang mriksani rêca jaran, rêca mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti amblasah, Sunan Benang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.

(Buta Locaya mengikuti perginya Sunan Bonang. Sunan Bonang tiba di desa Bogem, di sana ia melihat ada patung kuda yang berbadan satu tetapi berkepala dua. Letaknya ada di bawah pohon trenggulun. Buah trenggulun itu banyak sekali hingga menggunung tinggi. Sunan Bonang lalu menghancurkan kepala patung kuda itu.)

Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Benang anggêmpal êndhasing rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse: "Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika, lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi"

(Setelah melihat Sunan Bonang menghancurkan kepala patung kuda, maka bangkit kembali kemarahan Buta Locaya. Ia berkata, "Itu adalah peninggalan sang Prabu Jayabaya, sebagai lambang tekadnya wanita Jawa. Besok di jaman Nusa Srenggi, siapa saja yang melihat patung itu akan sama-sama memahami tekad para wanita Jawa.")

Sunan Benang ngandika: "Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu karo manusa, jênênge dhêmit kêmênthus".

(Sunan Bonang menjawab, "Kamu itu bangsa makhluk halus, kok berani bertengkar dengan manusia. Itu namanya makhluk halus sombong.")

Buta Locaya mangsuli: "Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu".

(Buta Locaya berkata, "Lalu kenapa memangnya? Anda Sunan, saya raja.")

Sunan Benang ngandika: "Woh trênggulun iki tak-jênêngake kênthos, dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo dhêmit kumênthus, prakara rusaking rêca".

(Sunan Bonang berkata, "Buah trenggulun ini aku namakan kenthos, sehingga menjadi peringatan di masa mendatang kalau aku bertengkar dengan makhluk halus sombong masalah rusaknya patung.")

Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene, woh trênggulun jênênge kênthos, awit saka sabdane Sunan Benang, iku pituture Raden Budi Sukardi, guruku".

(Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga sekarang, buah trenggulun namanya kenthos, karena berasal dari sabda Sunan Bonang. Itu adalah pemberitahuan dari guruku Raden Budi Sukardi.")

Sunan Benang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar, kêrsane arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane, sumure banjur digolingake, dene Sunan Benang sawise, nuli sagêd mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.

(Sunan Bonang lalu pergi ke arah utara. Pada saat itu telah waktunya salat asar dan ia hendak menunaikan ibadah salat. Di luar desa itu ada sumur, tetapi tidak ada ember untuk menimba air, karena itu Sunan Bonang menggulingkan sumur itu sehingga ia bisa menggambil air dari dalamnya.)

Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene sumur mau karane sumur Gumuling, Sunan Benang kang anggolingake, iku pituture Raden Budi guruku, êmbuh bênêr lupute".

(Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga saat ini sumur itu disebut sumur Gumuling. Sunan Bonang yang menggulingkannya. Itu katanya Raden Budi guruku, entah benar entah tidak.")

Sunan Benang sawise salat banjur nêrusake tindake, satêkane desa Nyahen (10) ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang, saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Benang priksa rêca mau gumun bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubênge
bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen dijunjung wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune têngên rêca mau disêmpal dening Sunan Benang, bathuke dikrowak.

(Setelah salat maka Sunan Bonang meneruskan perjalanannya, dan tiba di desa Nyahen. Di sana ada patung raksasa wanita yang terletak di bawah pohon dadap. Pada saat itu kebetulan pohon dadapnya sedang banya bunganya dan banyak yang berjatuhan di kanan dan kirinya patung raksasa itu sehingga nampak merah merona. Sunan Bonang melihat arca yang tingginya 16 kaki dan lingkarnya 10 kaki. Apabila diangkat orang 800 juga masih belum terangkat. Bahu kanan patung tersebut dihancurkan oleh Sunan Bonang dan selain itu dahinya juga dirusak.)

Buta Locaya wêruh yen Sunan Benang ngrusak rêca, dheweke nêpsu maneh, calathune: "Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-bêcik dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan ngrisak rêca?"

(Buta Locaya mengetahui tindakan Sunan Bonang merusak patung itu, timbul amarahnya kembali, "Anda itu benar-benar orang brengsek. Patung bagus-bagus kok dirusak tanpa sebab. Patung itu adalah peninggalan Sang Prabu Jayabaya, lalu mengapa Anda rusak?")

Pangandikane Sunan Benang: "Mulane rêca iki tak-rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar."

(Jawaban Sunan Bonang, "Arca ini saya rusak supaya jangan disembah-sembah oleh orang banyak, supaya jangan dimantrai. Yang menyembah patung itu namanya kafir. Lahir dan bathinnya tersesat.")




Buta Locaya calathu maneh: "Wong Jawa rak sampun ngrêtos, yen punika rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes Hyang Labawalhujwa, mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados para lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng, amargi siti utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun manusa, mila para lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing rêca,
panjênêngan-tundhung dhatêng pundi?

(Buta Locaya mengomel lagi, "Orang Jawa itu khan sudah tahu, bahwa itu hanya sebuah arca batu, tidak punya daya apa-apa, tidak punya kekuasaan apa, bukan Hyang Labawalhujwa, karena itu dimantrai dan diberi sesajian, supaya para makhluk halus yang dulunya tinggal di tanah atau kayu - karena tanah dan kayu itu dimanfaatkan bagi manusia - maka para makhluk halus itu diberi tempat tinggal di dalam arca. Anda itu tahu nggak sih?)

Sampun jamakipun brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca, sarta nêdha ganda wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos sumyah, langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah ing panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang agêng, sampun sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan alamipun manusa, manggen wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara, dados panjênêngan punika têtêp tiyang jail gêndhak sikara siya-siya dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa Jawa
ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa, wangsul tiyang bangsa 'Arab sami sojah Ka'batu'llah, wujude nggih tugu sela, punika inggih langkung sasar".

(Sudah wajar kalau para makhluk halus tinggal di gua dan patung. Selain itu mereka makan bau harum. Makhluk halus itu apabila makan bau harum, badannya terasa segar. Mereka betah tinggal di patung-patung batu yang berada di tempat sepi atau yang berada di depan pohon besar. Apakah Anda sudah pernah merasakan hidup di alam makhluk halus yang berbeda dengan alam manusia? Mereka yang hidup di dalam patung baru, Anda siksa, jadi karena itu Anda patut disebut orang jahil. Orang yang gemar berbuat seenaknya sendirinya terhadap sesama makhluk Tuhan. Lebih baik orang Jawa yang menghormati patung demi menguntungkan para makhluk halus, dibandingkan dengan orang Arab yang menyembah Ka'bah. Wujudnya juga tugu batu, sehingga seharusnya mereka juga sesat.")

Pangandikane Sunan Benang: Ka'batu'llah iku kang jasa Kangjêng Nabi Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi wong akeh, sing sapa sujud marang Ka'batu'llah, Gusti Allah paring pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing 'alam pangumbaran".

(Sunan Bonang menjawab, "Ka'bah itu ada karena jasanya Nabi Ibrahim, di situ terletak pusatnya bumi. Dibangun tugu dan disembah orang banyak. Siapa saja yang bersujud pada Ka'bah, Allah akan mengampuni dosanya selama hidup di dunia.")

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Tandhane napa yen angsal sihe Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa sampun angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?

(Buta Locaya menjawab dengan marah, "Buktinya apa kalau mereka beroleh pengampunan dosa dari Tuhan, memperoleh pengampunan dari semua kesalahan. Apakah sudah memperoleh tanda tangan dan cap dari Tuhan?")

Sunan Benang ngandika maneh: "Kang kasêbut ing kitabku, besuk yen mati oleh kamulyan".

(Sunan Bonang berkata lagi, "Itu semua disebut dalam kitabku. Besok kalau meninggal akan beroleh kemuliaan.")

Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: "Pêjah malih yen sumêrêpa, kamulyan sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup, sasar nyêmbah tugu sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi dhatêng rêdi Kêlut kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami maujud piyambak saking sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos, manusa sadaya kêdah sumêrêp ing Batu'llahipun, badanipun manusa punika Baitu'llah ingkang sayêktos, sayêktos yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika kêdah dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun
badanipun, sumêrêp budi hawanipun, inggih punika ingkang kenging kangge tuladha.

(Buta Locaya menjawab dengan tidak senang hati, "Ketahuilah, kemuliaan yang ada di dunia ini sudah ternoda, orang tersesat menyembah tugu batu, ketika mereka sudah melakukan kejahatan. Di Gunung Kelut banyak batu besar-besar hasil ciptaan Tuhan, kesemuanya itu terwujud berdasarkan Sabda Allah, itulah yang sesungguhnya lebih
pantas disembah. Berdasarkan izin Yang Maha Kuasa, seluruh umat manusia harus mengetahui mengenai Ka'bah sejati, tubuh manusia itulah Ka'bah sejati. Sejati karena ciptaannya Yang Maha Kuasa. Inilah yang harus diperhatikan. Siapa yang sadar akan asal usulnya, mengetahui akal budinya, yaitu yang sanggup dijadikan suri tauladan.)

Sanadyan rintên dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga pêtêng, kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu damêlan Nabi, Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta, pinaringan wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun têrus, sumêrêp cipta sasmita ingkang dereng kalampahan. Dene ingkang yasa rêca punika Prabu Jayabaya, inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos,
pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih engêtan sidik paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking lêluhuripun. sami- sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar sastra saking lêluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun taksih kenging dipuntingali. Tiyang nyungkêmi kabar 'Arab, dereng ngrêtos kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos, anggêga ujaripun tiyang nglêmpara.

(Meskipun siang dan malam menjalankan salat, tetapi apabila pikirannya gelap, pengetahuannya amburadul, menyembah tugu batu yang dibuat nabi. Nabi itu khan juga manusia kekasih Allah, diberi wahyu sehingga menjadi pandai dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi. Sedangkan yang membangun arca batu itu adalah Prabu Jayabaya, yang juga merupakan kekasih Allah. Ia juga menerima wahyu mulia, juga banyak pengetahuannya dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi. Anda berpedoman pada kitab, sedangkan orang Jawa berpedoman pada sastra kuno, petuah dari leluhur sendiri. Lebih baik mempercayai sastra kuno dari leluhur sendiri yang peningggalannya masih dapat disaksikan. Orang mempercayai kitab Arab, padahal belum tahu keadaan di sana, entah benar entah salahnya, hanya percaya perkataannya para penipu.)

Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade mulyaning nagari Mêkah, kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas, awis toya, tanêm-tanêm tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun banter awis jawah, manawi tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika nagari cilaka, malah kathah tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang tumbasan. Panjênêngan tiyang duraka, kula-aturi kesah saking ngriki, nagari Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun cêkapan, tanah pasir mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd tuwuh, tiyangipun jalêr bagus, wanitanipun ayu, madya luwês wicaranipun. Rêmbag panjênêngan badhe priksa pusêring jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi punika, sapunika panjênêngan ukur, manawi kula lêpat panjênêngan
jotos.

(Anda menjual kemuliaannya negeri Mekah. Padahal saya tahu seperti apa sebenarnya Mekah. Tanahnya panas, susah air, tanaman tidak bisa tubuh, serta jarang hujan. Orang yang sanggup bernalar akan menyebut Mekah itu negeri celaka. Malah banyak orang yang diperjual-belikan sebagai budak. Anda itu orang durhaka. Saya minta untuk pergi dari sini, negeri Jawa yang suci dan mulia, cukup hujan dan air, apa yang
ditanam dapat tumbuh, yang pria tampan, yang wanita cantik. Bicaranya juga luwes. Kalau Anda bicara masalah pusatnya jagad, maka tempat yang saya duduki inilah yang merupakan pusat jagad. Silakan Anda ukur, bila salah pukullah saya.)

Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang nêdha kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca punika Maha Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan, panjênêngan punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula-aturi kesah kemawon saking ngriki, manawi botên purun kesah sapunika, badhe kula-undhangakên adhi-kula ingkang wontên ing rêdi Kêlut, panjênêngan kula-kroyok punapa sagêd mênang, lajêng kula-bêkta mlêbêt dhatêng
kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên badhe susah, punapa panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados kula? Mangga dhatêng Selabale, dados murid kula!".

(Anda itu seperti orang tidak waras, pertanda kurang nalar, kurang memakan pengetahuan akal budi, senang menyiksa orang lain. Yang membuat arca itu Maha Prabu Jayabaya, yang kesaktiannya melebihi Anda. Anda apa sanggup mengetahui apa yang akan terjadi? Sudahlah, saya minta Anda pergi saja dar sini. Jika tidak mau pergi dari sini, maka akan saya panggilkan adik saya dari Gunung Kelut. Anda saya keroyok apa bisa menang? Lalu akan saya bawa ke dalam kawah Gunung Kelut. Apakah Anda tidak sengsara? Apakah Anda ingin berdiam dalam batu seperti saya? Kalau mau silakan datang ke Selabale, jadi murid saya!")

Sunan Benang ngandika: "Ora arêp manut rêmbugmu, kowe setan brêkasakan".

(Sunan Bonang berkata, "Saya tidak mau mengikuti perkataanmu, wahai setan iblis.")

Buta Locaya mangsuli: "Sanadyan kula dhêmit, nanging dhêmit raja, mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tamptu mulya kados kula, tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan dhatêng tanah Jawi, wontên ing 'Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen panjênêngan mulya tamtu botên kesah saking 'Arab, mila minggat, saking lêpat, tandhanipun wontên ing ngriki taksih krejaban, maoni adating uwong, maoni agama, damêl risak barang sae, ngarubiru agamane lêluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhatêng Mênadhu".

(Buta Locaya menjawab, "Meskipun saya makhluk halus, tetapi raja makhluk halus. Mulia dan abadi selamatnya. Anda belum tentu mulia seperti saya. Niat Anda buruk, gemar menyiksa orang lain. Oleh karena itu Anda datang ke tanah Jawa. Di Arab Anda tergolong orang hina. Jika Anda orang mulia maka tidak akan pergi meninggalkan Arab, karena salah maka melarikan diri dari sana. Buktinya di sni membuat onar, menghina adat istiadat orang lain, menghina agama, merusak barang
yang bagus, mengharubiru agama leluhur kuno. Raja wajib menyiksa dan membuang Anda.")

Sunan Benang ngandika: "Dhadhap iki kêmbange tak jênêngake celung, uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung rêmbag, dadiya pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh kalah nalar".

(Sunan Bonang berkata, "Pohon dadap ini bunganya aku beri nama celung, buahnya kledhung, karena aku kalah nalar dan kalah pembicaraan. Jadilah saksi bila aku bertengkar dengan raja makhluk halus dan kalah pengetahuan serta nalar.")

Mula katêlah nganti tumêka saprene, woh dhadhap jênênge kledhung, kêmbange aran celung.

(Oleh karena itu hingga sekarang, buah dadap, namanya kledhung, bunganya dinamakan celung.)

Sunan Benang banjur pamitan: "Wis aku arêp mulih mênyang Benang".

(Sunan Bonang lalu berpamitan, "Sudah saya akan pulang ke Bonang.")

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Inggih sampun, panjênêngan enggala kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar, manawi kadangon wontên ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis wos, nambahi bênter, nyudakakên toya".

Sunan Benang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga banjur mulih.

(Buta Locaya menjawab dengan marah, "Ya sudah, pergilah cepat-cepat. Di sini membuat susah saja. Makin lama makin membuat susah saja. Membuat susah air, menyebabkan kekeringan." Sunan Bonang meninggalkan tempat itu dan Buta Locaya beserta pasukannya juga pulang meninggalkan tempat itu.)